Minggu, 27 Januari 2013

SELAMATAN




Seorang laki-laki berbadan jangkung duduk di sofa ruang tamu ditemani istrinya. Asap rokok mengepul memenuhi ruangan itu. Istrinya sedang menyulam benang wol yang akan dibuat taplak meja. Percakapan terjadi diantara meraka.
“Lima hari lagi selamatan emak. Mas sudah siapkan uang untuk belanja?”, tanya perempuan berambut panjang yang digelung dengan karet gelang.
“iya, aku tahu”, jawab Parlan, suaminya.
“Kalau sudah, aku akan segera memesan belanjaan di warung mbak Rah besuk”, kata perempuan itu sambil menghentikan aktivitasnya dan menoleh pada Parlan.
“Belanjanya nanti saja”
“Kenapa? Barang yang harus dibeli cukup banyak. Kita kan harus ngasih makan sekitar seratus orang”, perempuan itu terlihat heran dan mengernyitkan dahi.
Parlan mematikan rokoknya di asbak kuno itu, lalu menghadap istrinya. Dipandangnya istrinya lekat-lekat. “ Seberapa pentingkah selamatan itu?”
“Mas ini bagaimana sih? Selamatan itu mendoakan emak biar nggak disiksa gusti Allah”, jelas istrinya.
“Memang dengan selamatan orang mati pasti masuk surga?”, sela Parlan menyelidik.
“Ya kalau masalah surga dan neraka mah, urusan gusti Allah, tapi sebagai anak kita wajib mendoakan. Mendoakan orang tua itu menunjukkan bakti kita padanya. Memangnya mas mau kalau mati nanti tidak didoakan sama anak kita?”, ceracau istrinya.
Parlan menghela nafas, dilururskan kakinya yang sedari tadi ditekuk di atas kursi. “Kalau masalah mendoakan, sudah tiap hari. Tidak perlu selamatan segala”
“Ya beda lah mas, kalau diri sendiri yang mendoakan kurang banyak. Perlu ngundang tetangga agar lebih banyak yang dibaca, jadi emak siksaannya ringan”. Kali ini istri Parlan agak bergumal.
Parlan berdiri merapikan bajunya dan ngeloyor keluar. Istrinya berteriak. “Mau kemana mas?”
“Ngopi”, jawabnya sambil terus berjalan keluar. Sementara itu, istrinya geleng-geleng kepala melihat tingkah suaminya itu.
            Di warung kopi milik mbah Sumiem, Parlan menyilakan kakinya sambil menikmati kopi kental dan gorengan. Sedang enek-enaknya ngopi, Bejo datang.
“Disini pak?”, sapa Bejo pada Parlan.
“Ya”
“Di rumah nggak ada kopi?”, tanyanya jeran karena tidak biasanya Parlan ngopi di tempat mbah Sumiem. Sejak menikah, ia lebih banyak  di rumah. Katanya kopi di rumah lebih mantap karena dikasih gula cinta.
“Ada”
“Lalu?”, Bejo menyelidik.
“Menemani mbah Sumiem. Sejak ditinggal mati mbah Man kan disini sepi. Saya takut kalo mbah Sumiem dibawa sundel bolong”, canda Parlan memecah kekauan.
“Hahaha….sundel bolong mana yang mau sama mbah Sumiem? Mbah kan kebal. sudah kebanyakan dislameti”, jawab Bejo sekenanya.
“Jo, kamu kan orang jawa asli. Menurutmu selamatan itu ada manfaatnya nggak?”, Pertanyaan untuk mencari pembenaran atas pendapatnya.
“Mas Parlan ini bagaimana to? Selamatan itu kan tradisi turun temurun di tanah Jawa untuk mendoakan mayit agar diringankan siksaannya. Itu termasuk ibadah lo mas”, jelas Bejo seraya mengambil gorengan.
“Iya, tapi apa harus? Seperti wajibnya sholat gitu?”, ia masih membela pendapatnya.
“Bukan begitu mas, tapi kan ini untuk orang tua kita. Semakin banyak yang mendoakan semakin banyak ganjaran yang dikirim, Jadi dosanya diampuni”, Bejo masih menahan diri.
“Berarti yang dibutuhkan banyaknya bacaan?”, tanya Parlan lagi.
“Iya mas, kalo mengundang banyak orang kan semakin banyak bacaan”, jelas Bejo dengan penuh kemenangan.
 Sementara Parlan masih gamang. Pikirannya melayang pada keadaan yang kini menghimpitnya. Bukan maksud dirinya mengabaikan orang tua istrinya yang telah meninggal. Namun, apa daya tangan tak sampai. Ia memang mengantongi uang sekarang ini, Tapi kebutuhan keluarga tidak mungkin diabaikan hanya untuk selamatan.
Minggu depan SPP anaknya yang duduk di sekolah taman kanak-kanak harus dibayar, lima hari kemudian setoran montor tidak mungkin ditunda. Kebutuhan semakin menyesak, sementara ia hanya loper kerupuk yang digaji enam ratus ribu tiap bulan. Gaji itu hanya cukup untuk makan sehari-hari. Kalau mau hutang, pada siapa? Hutangnya pada saudara sudah setumpuk gunung, mana ada saudara yang percaya padanya.

Udara malam membelai tubuhnya yang jangkung. Matanya sulit terpejam. Ia masih saja memikirkan ucapan istrinya dan Bejo tadi sore. Dalam hati, ia ingin mendoakan orang tua istrinya itu yang berarti juga orang tuanya. Namun, darimana ia akan mendapatkan uang?
Parlan kenal betul siapa istrinya. Meskipun terbilang sholeh, namun ia berhati keras. Segala yang menjadi prinsipnya harus dituruti. Istrinya itu memegang kuat adat Jawa, termasuk selamatan. Dulu, saat Parlan meminangnya, istrinya pernah bilang kalau dirinya orang Jawa dan tidak akan meninggalkan tradisi kejawen. Saat itu, ia pikir hal itu masalah mudah. Tapi sekarang fakta berkata lain. Ternyata memegang adat itu perlu biaya dan mahal pula.
Parlan terus mencari cara agar dapat melakukan selamatan. Ia tidak mungkin mencuri uang untuk acara ibadah, ia juga tidak mungkin membohongi atau meminta-minta sedangkan masih kuat bekerja. Tapi, untuk berkata jujur pada istrinya lebih tidak mungkin lagi. Ah, masalah sepele yang sangat rumit.
Tiba-tiba, ia mendapatkan ilham untuk melakukan sesuatu. Seulas senyum tersungging di bibir tebalnya. Wajahnya kini sumringah. “Aku tahu apa yang harus kulakukan”,bisiknya dalam hati.

Pagi-pagi buta Parlan pergi ke rumah juragan kerupuk tempatnya bekerja. Ia berniat meminta Izin selama tiga hari. Selama di perjalanan, pikirannya berkecamuk. Minta izin tiga hari sama saja mematikan rezeki. Gajinya bulan depan akan dipotong, bahkan bisa sampai sepertiga. Tapi segera ia tepis pikiran buruknya. Mudah-mudahan saja juragan Kardi menerima alasannya dan tidak mengurangi gajinya bulan depan.
“Maaf gan, saya mau izin dulu tiga hari”, kata Parlan saat menemui juragannya.
“Kenapa? Keluargamu sakit?”, tanya Kardi heran karena tidak biasanya pekerjanya ini minta cuti. Parlan termasuk pegawai yang telaten dan ulet. Kardi sangat menyukainya. Apalagi Kardi mengnal Parlan sebagai pribadi yang jujur.
“Tidak gan, Alhamdulillah keluarga saya sehat semua”, jawab Parlan.
“Lalu?”, Kardi menoleh kearah Parlan dan menunggu jawaban.
“Saya harus mengurusi acara selamatan almarhum ibu mertua, gan”, Parlan tertunduk, ia yakin juragannya tidak akan mengizinkan begitu saja.
“Kalau urusan itu kan bisa istrimu”, elak Kardi pada Parlan.
“Tidak bisa gan, masalahnya selamatan kali berbeda dengan sebelumnya. Upacara kali ini tidak hanya membaca tahlil bersama-sama”, terang Parlan yang semakin membuat Kardi bingung.
“Maksudmu apa?”, jawab Kardi bingung.
“Begini gan, saya dan istri kan dari dua kebudayaan berbeda. Rencananya saya akan memadukan acara selamatan disini dengan selamatan di tempat saya. Menurut sesepuh daerah asal saya, selamatan untuk kematian seribu hari perlu ritual khusus selama tiga hari. Acara seperti itu hanya dilakukan saat mengenang seribu hari kematian seseorang. Karena hanya terjadi satu kali seumur hidup, maka saya bermaksud menjalankannya. Saya juga harus memegang adat seperti juragan memegang adat Jawa”, jelas Parlan panjang lebar.
 Kardi hanya manggut-manggut saja. Dalam hati ia membenarkan ucapan Parlan bahwa tradisi tiap daerah perlu dilestarikan. Ia tidak bisa menghalangi orang dari daerah lain untuk melaksanakan upacara adat. Jika ia melakukannya, berarti ia telah mematikan budaya bangsa Indonesia. Dengan begitu, ia telah mengurangi kekayaan Negara karena keragaman budaya adalah harta Negara yang paling berharga dan tentunya tidak bisa dikorupsi.
“Baiklah kalau begitu, saya izinkan, tapi tidak lebih dari tiga hari”, jawab Kardi sambil manggut-manggut kembali.
“Lalu gaji saya bagaimana gan?”, selidik Parlan penuh harap agar gajinya tidak dipotong.
“Kalau kamu mau, ganti saja di hari liburmu. Jadi anggap cutimu itu sebagai hari libur”, jawab Kardi memberi solusi.
“Baiklah gan, terimakasih banyak. Saya sangat senang gan”, ucap Parlan dengan penuh suka cita. Diciumnya tangan juragan Kardi karena bahagia.

            Kini, tinggal aksi terakhir. Semoga aksinya kali ini berjalan lancar. Parlan mulai mengemasi beberapa barang untuk dimasukkan ke dalam tas. Tak lupa ia bawa beberapa makanan kering dan minuman untuk mengisi perut selama tiga hari.
            Lastri, istri Parlan muncul dari belakang dengan mengernyitkan dahi. Ia bingung dengan tingkah Parlan yang terbilang aneh. Langsung saja didekati suaminya itu untuk mencari tahu jawaban dari rasa penasarannya.
“Ada apa ini mas?”, tanya Lastri kaget saat melihat tas ransel Parlan dipenuhi barang-barang.
“Mas mau semedi selama tiga hari”, jawabnya penuh keyakinan.
“Semedi? Mas ini seorang muslim, mana boleh melakukan semedi?”, Lastri mulai gusar
“Lho, semedi ini berbeda dengan orang zaman dulu. Mas ini mau semedinya di kamar, kayak iktikaf itu lho”, jelasnya perlahan pada istri tercintanya.
“Tapi ini bukan bulan Ramadhan mas, mana boleh iktikaf?”, Lastri tetap mengelak. Ia tak mengerti dengan sikap aneh suaminya. Menurutnya, suaminya ini belum pernah bertingkah seaneh ini. Lagipula, ia tahu betul kalau Parlan adalah seorang muslim taat.
“Sini, duduk dulu”, Parlan mengajak istrinya duduk di tepi pembaringan kamar mereka.
“Mas baru saja ingat bahwa tiga hari lagi adalah peringatan seribu hari kematian emak. Selamatan kali ini akan diadakan dengan cara berbeda”, Parlan mencoba memberi umpan pada Lastri.
“Sungguh, saya tidak mengerti maksud mas Parlan”, Lastri masih penasaran.
“Begini, adik pernah bilang pada mas kalau adik ingin tetap memegang teguh tradisi Jawa yang melekat dalam diri dik Lastri. Mas hargai itu dan berusaha untuk menjalani upacara adat di sini seperti siraman pada saat pernikahan kita, mitoni, sepasaran bayi, dan selamatan. Mas sungguh paham bahwa budaya adalah warisan leluhur yang harus dilestarikan. Kalau tidak, maka musnahlah jati diri kita”, ungkap Parlan tenang dan meyakinkan. Di sampingnya, Lastri sedang manggut-manggut mendengarkan penjelasan suaminya.
“Dik Lastri kan tahu kalau mas Parlan ini bukan orang Jawa. Mas Parlan juga punya adat yang ingin dilestarikan. Sebagai manusia yang mencintai musyawarah mufakat dan demi menjunjung tinggi nilai persatuan, maka mas ajak dik Lastri untuk mendiskusikan masalah selamatan emak”, tambah Parlan yang rupanya mulai merasuki batin istrinya.
“Iya, saya mengerti mas. Memangnya mas mau bikin acara seperti apa?”, balas Lastri yang sedari tadi diam mendengarkan.
“Dalam tradisi mas Parlan, upacara selamatan untuk mengenang seribu hari almarhum itu dilakukan dengan membaca surat yasin sebanyak-banyaknya”, cerita Parlan.
“Iya, disini juga begitu mas”, sela Lastri tidak sabar.
“tapi dalam adat daerah mas, yang membaca surat yasin adalah anaknya. Berdasarkan keterangan pak kyai di desa mas, doa anak soleh itu dikabulkan. Oleh karena itu, sebaiknya seorang anak banyak-banyak mendoakan orangtuanya, terlebih saat seribu hari, dimana orang yang meninggal mengalami siksa kubur”, lanjut Parlan penuh kehati-hatian.
“Lalu?”, tanya Lastri kembali.
“Doa itu dimulai tiga hari sebelum hari-H. Anak diharuskan membaca surat yasin sebanyak-banyaknya agar siksaan orang tua dikurangi. Selama ini kan mas mengikuti upacara adat Jawa, termasuk dalam hal selamatan. Untuk saat ini, mas mohon izin pada dik Lastri untuk melaksanakan tradisi daerah mas. Dik Lastri tidak keberatan kan?”, ucap Parlan dengan penuh keyakinan kalau istrinya akan memenuhi keinginannya.
“Emm…bagaimana kalau dua-duanya kita laksanakan?”, ujar Lastri memberi masukan.
Parlan tersentak. Tak disangka Lastri akan berucap demikian. Upacara yang ia ceritakan adalah rekayasa agar istrinya itu tidak melaksanakan selamatan yang mahal itu. Kini, Lastri malah meminta dua-duanya dilaksanakan.
            Parlan putar otak. Ia memikirkan jawaban yang tepat untuk mengurungkan niat selamatan Lastri. Parlan kembali menghela nafas. Tidak mungkin baginya jujur bahwa alasan sebenarnya adalah karena ia tidak punya uang. Istrinya itu pasti memaksa berhutang untuk melakoni upacara adat yang dilakukan secara turun temurun.
“Begini dik Lastri, adik tahu kalau keuangan kita tidak terlalu baik. Masih banyak biaya yang mas tanggung. Upacara selamatan daerah mas juga memerlukan biaya sehingga jika digabung dengan selamatan adat Jawa biayanya akan membengkak”, ujarnya pelan, berharap istrinya mau dikibuli.
“Biaya untuk apa mas? Katanya yang mendoakan hanya anaknya?”, sergah Lastri agak cemberut.
“Dalam upacara itu, mas harus membeli beberapa sak beras yang didoakan selama tiga hari. Pada puncak acara, yaitu tepat seribu hari kematian emak, beras-beras itu akan dibagikan. Tentunya, untuk membeli beras memerlukan uang ratusan ribu, bukan?”. Lastri tampak kecewa. Dia tertunduk tanpa jawaban. Cepat-cepat Parlan meneruskan pembicaraannya.
“Mas hanya ingin melakoni upacara adat yang hanya sekali seumur hidup. Setelah ini, mas tidak bisa lagi menjalaninya karena orang tua mas sudah meninggal dua-duanya. Padahal, mas sangat rindu pada ritual itu. Mas cinta adat tanah kelahiran mas, seperti dik Lastri mencintai budaya Jawa. Seandainya mas punya banyak uang, pasti mas jalani keduanya. Tapi uang mas hanya cukup untuk melakoni salah satunya. Sekarang terserah dik Lastri saja, kalau mau bersikeras, mas mengalah. Biarkan budaya itu hanya meninggalkan jejak dalam lubuk hati”, ungkapnya merana dengan keputusasaan. Dalam pikirannya, ia membayangkan apabila kata-katanya kali ini gagal, maka jadilah selamatan yang memakan biaya jutaan itu dilaksanakan.
            Rupanya Lastri iba juga melihat suaminya. Ia tersadar bahwa selama ini ia telah egois. Suaminya juga punya tradisi yang harus dilestarikan. Ia juga punya kenangan dan mencintai warisan leluhurnya, sama seperti dirinya. Akhirnya, hati Lastri luluh juga.
“Baiklah, bila itu yang mas inginkan Lastri mengerti”, ungkap Lastri penuh keikhlasan. Senyumbya terlihat begitu tulus.
            Parlan langsung bersyukur dan menciumi istri tercintanya ini. Ia begitu bahagia karena tidak jadi mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk upacara selamatan. Masalah beras, ia tinggal beli saja sepuluh kilo, kemudian bagian bawah karung diisi dengan jagung atau semisalnya yang lebih murah. Beras itu nanti dibagikan ke desa sebelah saja agar istrinya tidak tahu tentang kebohongannya. Harga beras sepuluh kilo tentu tak sebanding dengan biaya nasi kotak dan senek untuk seratus orang. Belum lagi ia harus memberi makan tetangga yang memasak selama dua hari ditambah teh hangat untuk tamu. Apabila ada saudara yang datang, maka biayanya akan bertambah karena mereka akan membawa pulang makanan.
            Menurut tradisi di desa itu, yang memberi makanan tidak layak akan digunjing. Istrinya sering menceritakan hal itu dan turut menggunjing tetangga yang memberi makanan kurang layak menurut mereka. Oleh karena itu terpaksa, Parlan mengambil jalan kebohongan demi kepulan asap dapur di rumahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar