Namaku Dena, usiaku masih enam tahun
saat ibuku, yang seorang pelacur menitipkanku pada bibi Masinah. Beliau tak
ingin putri semata wayangnya masuk ke lembah hitam. Bagaimanapun bejatnya
orangtua, pasti mengharapkan yang terbaik untuk buah hatinya. Di situlah
pertama kalinya aku mengenal Geri yang tidak lain adalah pamanku sendiri.
Kebetulan rumah bibi berdekatan dengan kakek sehingga aku dan Geri sering
bertemu.
Geri adalah anak bungsu dari sepuluh
bersaudara yang semuanya perempuan. Saat itu usianya baru dua belas tahun. Kami
memang akrab sejak kecil karena dia adalah satu-satunya orang yang memahami
kesulitan hidupku sebagai anak seorang pelacur.
Ketika usiaku menginjak lima belas
tahun, nenek dan kakekku meninggal dalam rentang waktu hampir bersamaan.
Kemudian, aku disuruh tinggal di rumah kakek untuk menemani Geri yang kala itu
telah bekerja sebagai karyawan swasta. Bagiku, Geri adalah sosok pria pengertian
dan menyenangkan. Kami begitu dekat hingga akhirnya menjalin hubungan layaknya
sepasang kekasih. Tidak ada yang curiga dengan kedekatan kami, mereka semua
mengira Geri adalah sosok ayah bagiku.
Siapa yang bisa menduga perasaan dua
insan? Bahkan malaikatpun tak berkutik ketika manusia sudah jatuh dalam asmara.
Begitu juga dengan kami, kendati kusadari bahwa perasaan ini adalah dosa, toh
himpitan rasa bersalah itu tak mampu membendung luapan cinta dalam hati.
Apalagi Geri selalu memperlakukanku dengan lembut dan mesra hingga akhirnya
kuserahkan kesucianku tanpa terpaksa sedikitpun.
Tapi, hubungan yang sangat manis ini
hanya bertahan sebentar karena bibi-bibiku kemudian menjodohkan Geri dengan
gadis desa pilihan mereka. Aku benar-benar kesal pada Geri yang tidak
menunjukkan penolakan sama sekali. Ingin rasanya aku menjauh darinya, tapi
keinginan itu redup manakala ia bisikkan rayuan di telingaku.
“Jangan
pergi Dena, aku akan tetap setia padamu meski telah menikah”, bujuknya, “pernikahanku
ini hanyalah untuk menutupi hubungan kita, percayalah.”
Dia tidak pernah berhenti
meyakinkanku untuk tetap tinggal. Sementara aku, gadis berusia tujuh belas
tahun ini lagi-lagi terperangkap dalam nafsu setan hingga hari pernikahan itu
tiba. Geri benar-benar menikah. Sekarang kami tinggal bertiga, aku, Geri dan
istrinya yang bernama Sonya.
Sampai tiga bulan penikahan, Geri
masih memegang janjinya untuk setia kepadaku. Tak sekalipun Geri menyentuh istrinya,
ia justru bermanis madu denganku. Bagiku, Geri adalah cinta sejati yang
dikirimkan Tuhan untukku.
Tibalah hari yang spesial dimana aku
dilahirkan delapan belas tahun yang lalu. Demi membuat Geri semakin lengket, kupercantik
diri di salon dan menyiapkan hadiah istimewa. Geri dan aku sepakat untuk
merayakan ulangtahunku di hotel malam ini, hanya kami berdua. Aku sudah
membayangkan berbagai hal menyenangkan yang tidak akan pernah kulupakan
sepanjang hidup.
Sepulang dari salon, kulangkahkan
kaki cepat-cepat menuju rumah. Aku sudah tak sabar untuk bertemu Geri dan ingin
segera pergi dengannya. Sampai di pagar rumah, kulihat bibi-bibiku datang
berkunjung. Ramai sekali.
“Ada apa
ini?”, bisikku dalam hati. Jantungku berdebar kencang, takut mendengar berita
buruk tentang Geri.
Deg. Aku bagai tersambar petir di
siang bolong. Istri Geri hamil? Bagaimana mungkin? Bukankah selama ini Geri
bersumpah tak pernah menidurinya? Aku hanya mampu menatap Geri, berharap ada
jawaban di matanya. Tapi, dia menunduk saja yang kuartikan sebagai pembenaran
bahwa dalam rahim Sonya ada darah dagingnya.
Sontak aku limbung setelah mendengar
berita kehamilan itu. Perasaanku tak karuan, antara benci, marah, sayang,
menyesal, dan dosa. Kenapa hal ini terjadi tepat di hari ulangku? Aku berlari menuju tempat ibuku biasa mangkal, berhenti
di sebuah warung remang-remang dan mengenggak sebotol alkohol. Ingatan tentang
Geri terus membayangiku. Pengertian, sentuhan, kelembutan, tatap mata, dan gaya
bicaranya selalu membuatku terpana. Tapi, semua itu kini berubah menjadi hal
yang paling menjijikkan. Sungguh, aku benci semua yang pernah kulakukan
dengannya.
“Tuhan,
ambil saja nyawanya agar aku tak bisa lagi melihatnya”, ratapku di sudut warung
itu.
Aku benar-benar menginginkan kematiannya sebagai penebus rasa
sakit ini. Mungkin, aku akan puas jika bisa menatap mata pengkhianat itu saat
dia sudah bersimpuh darah. Tanpa berpikir lagi, kubawa sebuah belati hadiah
darinya dulu. Kulangkahkan kaki dengan penuh emosi mencari keberadaan Geri. Apa
lagi? Tentu untuk menuntaskan dendamku atas pengkhianatannya.
Geri tidak ada di rumah. Sonya
bilang ia pergi mencariku. Mencariku?
Untuk apa? Apakah ia ingin tersenyum bangga setelah merobek-robek kesucian dan
perasaanku? Aku semakin gelap mata, kucari Geri di tempat biasanya kami
bertemu, tepi danau Singkalang. Langkahku semakin cepat demi melihat sosok Geri.
Kudekati dia dalam kegelapan malam.
“Geri!!!!!”,
teriakku saat melihatnya terhuyung.
Segera kupapah tubuhnya yang kini
bersimpuh darah. Dada kirinya ditusuk belati oleh perampok yang baru saja kabur
membawa barang-barangnya.
“Dena, Aku
mencarimu seharian.”
“Untuk apa?
Menunjukkan pengkhianatanmu?”, bentakku dengan luapan airmata.
“Aku tak
pernah menyentuh Sonya. Dia tidak hamil denganku, tapi dengan mantan pacarnya”.
Itu adalah kata terakhir Geri
sebelum pergi untuk selamanya. Apakah aku harus mempercayainya? Bagaimana jika ternyata
dia berkata benar? Tapi aku ragu. Malam itu juga kuputuskan untuk bertanya pada
Sonya tentang anak yang ada di rahimnya.
“Benar, ini
bukan anak Geri, tapi anak Anton, kekasihku”, jelas Sonya tanpa rasa bersalah
sedikitpun, “aku tahu hubungan haram kalian. Demi membalas rasa sakit itu, kukatakan
kalau ini adalah anak Geri”.
Kali ini perasaan berdosaku genap
sudah. Aku jatuh dalam nestapa. Bukan kata manis yang kuberikan di penghujung
hidupnya, melainkan tuduhan. Aku benar-benar menyesal. Hari-hariku dipenuhi
dengan airmata kesedihan. Hingga suatu hari, aku melihat kembali sosok Geri
mendekatiku. Kuucap maaf padanya dan mencium tangannya. Semakin lama, Geri
semakin sering mendatangiku. Aku senang,
tak jarang tertawaku lepas saat bergurau dengannya.
Bibi Masinah rupanya kurang suka
melihatku mengobrol dan bercanda dengan Geri. Ia kerap bilang, “Dena, bicara
dengan siapa?”.
Aku jawab,
“apa bibi tak melihat Geri? Ia ada di sini.”
“Geri sudah
meninggal, Dena. Kita lupakan dia, ya”, bujuk bibi Masinah.
Terang saja, aku marah dengan
kata-katanya itu. Aku berteriak memakinya dan menyuruhnya pergi. Bagiku, Geri
masih hidup. Dia ada bersamaku setiap hari. Tapi, kenapa bibiku tega bicara
seperti itu?
. ###
Demi menuruti anjuran dokter, bibi kemudian
menaruhku di rumah sakit jiwa selama tiga bulan. Saat berada di rumah sakit itu,
aku masih bertemu dan mengobrol dengan Geri, hanya saja tidak sesering dulu. Aku
juga tidak pernah lagi berteriak atau menangis seharian. Mungkin karena alasan
itulah, dokter mengizinkanku pulang. Seharusnya perawatanku dilakukan hingga
dua atau tiga bulan lagi, tapi ibu dan bibiku keberatan menanggung biayanya.
Maklum, saat itu ibuku mulai layu sehingga para hidung belang enggan
menghampiri.
Sebagai ganti perawatan rumah sakit,
aku dibawa ke sebuah pesantren. Di sanalah untuk pertama kalinya aku
benar-benar mengenal islam. Istri pemilik pesantren itu dengan telaten merawat
dan memberiku nasehat hingga akhirnya aku benar-benar sembuh dalam kurun waktu
delapan bulan.
Lepas dari penyakit gila, aku
memilih tetap tinggal di pesantren. Ada kedamaian yang merasuk relung hati.
Perlahan, ingatan tetang Geri mulai memudar, tergantikan oleh goresan kehidupan
baru yang lebih menentramkan. Aku belajar mengenal Allah, nabi Muhammad,
sholat, membaca tulisan arab, dan menghafalkan surat. Padahal, aku benci sekali
dengan pelajaran agama saat masih duduk di bangku sekolah. Aneh, bukan?
Geri, sekarang dia bukan lagi sumber
cinta dan rasa sakitku. Kadang, aku tertawa mengingat kebodohanku, tapi di
waktu lain merasa sedih, menyesali segala kemaksiatan yang pernah kuperbuat. Setidaknya,
aku masih bersyukur atas hidayahNya sebelum ajal menjemput.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar