Jumat, 08 Januari 2016

Cahaya di Ujung Senja






Aku masih terpaku di depan pusaramu, menabur bunga dan melantunkan doa. Bulir airmataku kembali menetes, teringat kisah terlarang yang pernah kita jalani. Kuharap Tuhan bersedia mengampuniku dan dirimu. 

 Namaku Dena, usiaku masih enam tahun saat ibuku, yang seorang pelacur menitipkanku pada bibi Masinah. Beliau tak ingin putri semata wayangnya masuk ke lembah hitam. Bagaimanapun bejatnya orangtua, pasti mengharapkan yang terbaik untuk buah hatinya. Di situlah pertama kalinya aku mengenal Geri yang tidak lain adalah pamanku sendiri. Kebetulan rumah bibi berdekatan dengan kakek sehingga aku dan Geri sering bertemu. 

Geri adalah anak bungsu dari sepuluh bersaudara yang semuanya perempuan. Saat itu usianya baru dua belas tahun. Kami memang akrab sejak kecil karena dia adalah satu-satunya orang yang memahami kesulitan hidupku sebagai anak seorang pelacur. 

Ketika usiaku menginjak lima belas tahun, nenek dan kakekku meninggal dalam rentang waktu hampir bersamaan. Kemudian, aku disuruh tinggal di rumah kakek untuk menemani Geri yang kala itu telah bekerja sebagai karyawan swasta. Bagiku, Geri adalah sosok pria pengertian dan menyenangkan. Kami begitu dekat hingga akhirnya menjalin hubungan layaknya sepasang kekasih. Tidak ada yang curiga dengan kedekatan kami, mereka semua mengira Geri adalah sosok ayah bagiku.

 Siapa yang bisa menduga perasaan dua insan? Bahkan malaikatpun tak berkutik ketika manusia sudah jatuh dalam asmara. Begitu juga dengan kami, kendati kusadari bahwa perasaan ini adalah dosa, toh himpitan rasa bersalah itu tak mampu membendung luapan cinta dalam hati. Apalagi Geri selalu memperlakukanku dengan lembut dan mesra hingga akhirnya kuserahkan kesucianku tanpa terpaksa sedikitpun.

 Tapi, hubungan yang sangat manis ini hanya bertahan sebentar karena bibi-bibiku kemudian menjodohkan Geri dengan gadis desa pilihan mereka. Aku benar-benar kesal pada Geri yang tidak menunjukkan penolakan sama sekali. Ingin rasanya aku menjauh darinya, tapi keinginan itu redup manakala ia bisikkan rayuan di telingaku.

“Jangan pergi Dena, aku akan tetap setia padamu meski telah menikah”, bujuknya, “pernikahanku ini hanyalah untuk menutupi hubungan kita, percayalah.”

 Dia tidak pernah berhenti meyakinkanku untuk tetap tinggal. Sementara aku, gadis berusia tujuh belas tahun ini lagi-lagi terperangkap dalam nafsu setan hingga hari pernikahan itu tiba. Geri benar-benar menikah. Sekarang kami tinggal bertiga, aku, Geri dan istrinya yang bernama Sonya. 

Sampai tiga bulan penikahan, Geri masih memegang janjinya untuk setia kepadaku. Tak sekalipun Geri menyentuh istrinya, ia justru bermanis madu denganku. Bagiku, Geri adalah cinta sejati yang dikirimkan Tuhan untukku. 

Tibalah hari yang spesial dimana aku dilahirkan delapan belas tahun yang lalu. Demi membuat Geri semakin lengket, kupercantik diri di salon dan menyiapkan hadiah istimewa. Geri dan aku sepakat untuk merayakan ulangtahunku di hotel malam ini, hanya kami berdua. Aku sudah membayangkan berbagai hal menyenangkan yang tidak akan pernah kulupakan sepanjang hidup. 

 Sepulang dari salon, kulangkahkan kaki cepat-cepat menuju rumah. Aku sudah tak sabar untuk bertemu Geri dan ingin segera pergi dengannya. Sampai di pagar rumah, kulihat bibi-bibiku datang berkunjung. Ramai sekali. 

“Ada apa ini?”, bisikku dalam hati. Jantungku berdebar kencang, takut mendengar berita buruk tentang Geri.

 Deg. Aku bagai tersambar petir di siang bolong. Istri Geri hamil? Bagaimana mungkin? Bukankah selama ini Geri bersumpah tak pernah menidurinya? Aku hanya mampu menatap Geri, berharap ada jawaban di matanya. Tapi, dia menunduk saja yang kuartikan sebagai pembenaran bahwa dalam rahim Sonya ada darah dagingnya. 

 Sontak aku limbung setelah mendengar berita kehamilan itu. Perasaanku tak karuan, antara benci, marah, sayang, menyesal, dan dosa. Kenapa hal ini terjadi tepat di hari ulangku? Aku berlari menuju tempat ibuku biasa mangkal, berhenti di sebuah warung remang-remang dan mengenggak sebotol alkohol. Ingatan tentang Geri terus membayangiku. Pengertian, sentuhan, kelembutan, tatap mata, dan gaya bicaranya selalu membuatku terpana. Tapi, semua itu kini berubah menjadi hal yang paling menjijikkan. Sungguh, aku benci semua yang pernah kulakukan dengannya. 

“Tuhan, ambil saja nyawanya agar aku tak bisa lagi melihatnya”, ratapku di sudut warung itu. 

Aku benar-benar menginginkan kematiannya sebagai penebus rasa sakit ini. Mungkin, aku akan puas jika bisa menatap mata pengkhianat itu saat dia sudah bersimpuh darah. Tanpa berpikir lagi, kubawa sebuah belati hadiah darinya dulu. Kulangkahkan kaki dengan penuh emosi mencari keberadaan Geri. Apa lagi? Tentu untuk menuntaskan dendamku atas pengkhianatannya. 
 
Geri tidak ada di rumah. Sonya bilang ia pergi  mencariku. Mencariku? Untuk apa? Apakah ia ingin tersenyum bangga setelah merobek-robek kesucian dan perasaanku? Aku semakin gelap mata, kucari Geri di tempat biasanya kami bertemu, tepi danau Singkalang. Langkahku semakin cepat demi melihat sosok Geri. Kudekati dia dalam kegelapan malam.

“Geri!!!!!”, teriakku saat melihatnya terhuyung.

            Segera kupapah tubuhnya yang kini bersimpuh darah. Dada kirinya ditusuk belati oleh perampok yang baru saja kabur membawa barang-barangnya.
“Dena, Aku mencarimu seharian.”
“Untuk apa? Menunjukkan pengkhianatanmu?”, bentakku dengan luapan airmata.
“Aku tak pernah menyentuh Sonya. Dia tidak hamil denganku, tapi dengan mantan pacarnya”. 

 Itu adalah kata terakhir Geri sebelum pergi untuk selamanya. Apakah aku harus mempercayainya? Bagaimana jika ternyata dia berkata benar? Tapi aku ragu. Malam itu juga kuputuskan untuk bertanya pada Sonya tentang anak yang ada di rahimnya. 

“Benar, ini bukan anak Geri, tapi anak Anton, kekasihku”, jelas Sonya tanpa rasa bersalah sedikitpun, “aku tahu hubungan haram kalian. Demi membalas rasa sakit itu, kukatakan kalau ini adalah anak Geri”.

Kali ini perasaan berdosaku genap sudah. Aku jatuh dalam nestapa. Bukan kata manis yang kuberikan di penghujung hidupnya, melainkan tuduhan. Aku benar-benar menyesal. Hari-hariku dipenuhi dengan airmata kesedihan. Hingga suatu hari, aku melihat kembali sosok Geri mendekatiku. Kuucap maaf padanya dan mencium tangannya. Semakin lama, Geri semakin sering mendatangiku.  Aku senang, tak jarang tertawaku lepas saat bergurau dengannya. 

            Bibi Masinah rupanya kurang suka melihatku mengobrol dan bercanda dengan Geri. Ia kerap bilang, “Dena, bicara dengan siapa?”.
Aku jawab, “apa bibi tak melihat Geri? Ia ada di sini.”
“Geri sudah meninggal, Dena. Kita lupakan dia, ya”, bujuk bibi Masinah. 

 Terang saja, aku marah dengan kata-katanya itu. Aku berteriak memakinya dan menyuruhnya pergi. Bagiku, Geri masih hidup. Dia ada bersamaku setiap hari. Tapi, kenapa bibiku tega bicara seperti itu?
. ###

Sebulan setelah kepergian Geri, bibi Masinah membawaku ke psikiater. Aku dinyatakan menderita skizofrenia atau biasa disebut gila oleh orang-orang. Aku menolak dikatakan demikian karena merasa baik-baik saja. Apa yang aneh dengan diriku? Aku meronta ketika dokter dan perawat berusaha menenangkan.
 
  Demi menuruti anjuran dokter, bibi kemudian menaruhku di rumah sakit jiwa selama tiga bulan. Saat berada di rumah sakit itu, aku masih bertemu dan mengobrol dengan Geri, hanya saja tidak sesering dulu. Aku juga tidak pernah lagi berteriak atau menangis seharian. Mungkin karena alasan itulah, dokter mengizinkanku pulang. Seharusnya perawatanku dilakukan hingga dua atau tiga bulan lagi, tapi ibu dan bibiku keberatan menanggung biayanya. Maklum, saat itu ibuku mulai layu sehingga para hidung belang enggan menghampiri.

 Sebagai ganti perawatan rumah sakit, aku dibawa ke sebuah pesantren. Di sanalah untuk pertama kalinya aku benar-benar mengenal islam. Istri pemilik pesantren itu dengan telaten merawat dan memberiku nasehat hingga akhirnya aku benar-benar sembuh dalam kurun waktu delapan bulan.

 Lepas dari penyakit gila, aku memilih tetap tinggal di pesantren. Ada kedamaian yang merasuk relung hati. Perlahan, ingatan tetang Geri mulai memudar, tergantikan oleh goresan kehidupan baru yang lebih menentramkan. Aku belajar mengenal Allah, nabi Muhammad, sholat, membaca tulisan arab, dan menghafalkan surat. Padahal, aku benci sekali dengan pelajaran agama saat masih duduk di bangku sekolah. Aneh, bukan?

 Geri, sekarang dia bukan lagi sumber cinta dan rasa sakitku. Kadang, aku tertawa mengingat kebodohanku, tapi di waktu lain merasa sedih, menyesali segala kemaksiatan yang pernah kuperbuat. Setidaknya, aku masih bersyukur atas hidayahNya sebelum ajal menjemput.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar