Selasa, 19 Januari 2016

Tumbal-Tumbal Ibukota



Gas airmata masih menyelimuti langit ibukota, khususnya kawasan Kampung Pulo. Terik matahari siang tergantikan oleh embun pekat yang mengganggu pengelihatan. Orang-orang yang sejak tadi berkerumun untuk menghadang petugas, kini malah berlarian kocar-kacir. Salah satu diantaranya adalah kakek Darmin, seorang penduduk Kampung Pulo berusia 65 tahun.
 
 Jika orang-orang mampu berlari kencang menyelamatkan diri, kakek itu hanya tertatih dengan kaki rapunhnya, menyusuri gang demi gang menuju rumah. Sejak terdiagnosa reumatik dua tahun lalu, kaki kakek Darmin tak lagi mampu berjalan cepat. Dia kemudian memilih untuk mendekam di balik bak sampah besar selama kericuhan itu berlangsung. Jantungnya terus berdegub, sementara bibirnya tak berhenti komat-kamit, berharap Tuhan mau menyelamatkan dari kejaran para aparat. 

“Duh Gusti, sampai kapan aku harus di sini?”, keluhnya saat bau sampah menusuk hidung.
“Seharusnya, aku tadi tak datang”, rintih kakek tua itu menyesal.

Sebenarnya, kakek Darmin tidak berniat ikut-ikutan menghadang petugas. Ia sadar diri kalau tubuhnya telah renta. Namun, keinginan untuk melihat langsung perjuangan para tetangganya terhadap hak mereka yang sebentar lagi akan terampas begitu kuat. Naas, pemerintah provinsi menurunkan ribuan aparat untuk melawan warga. 
 
Setelah berjam-jam sembunyi, kakek tua itu memberanikan diri untuk mengintip. Udara mulai bersih dan suasana juga lebih tenang.

“Sepertinya sudah aman”, gumamnya.  

Lelaki asal Probolinggo, Jawa Timur itu kemudian melangkahkan kaki dengan wajah kuyu. Ia tak tahu harus bicara apa pada istrinya tercinta nanti. 

“Ah, pasti Naimah sudah mendengar berita dari tetangga”, bisiknya dalam hati. 

Benar, sesampainya di rumah, Naimah, istri kakek Darmin tak menanyakan apapun. Ia hanya diam dan menyeduh teh. Meski begitu, beberapa saat kemudian, kakek Darmin tanpa diminta menceritakan semua yang dialami hari ini. Mendengar penuturan suaminya, Naimah menyarankan untuk ikhlas. Sementara itu, tangan Naimah mulai mengemasi barang-barang di rumah mereka. 

“Tak semudah itu, bune”, elaknya, “Kau tahu betul perjuanganku untuk memiliki rumah ini.”

Tangan kakek Darmin mengusap dinding tembok yang mengingatkannya pada kenangan masa lalu. Tahun 1975, ia menjejakkan kaki untuk pertama kali di ibukota Jakarta. Kala itu Jakarta belum sesak seperti sekarang. Berbekal uang recehan, Darmin muda mencoba mengubah nasib. Namun apa daya, dia hanya bisa menjadi kuli angkut di pasar Rejosari, dekat dengan Kampung Pulo. 
 
“Aku tidak lupa, pakne. Kita bahkan pernah jualan ketoprak keliling hingga tengah malam buat nambah tabungan”, ucap Naimah ikut membayangkan masa lalu mereka.

“Kita menabung puluhan tahun, lalu dapat tanah di sini”, tambah kakek Darmin, “saat itu rasanya bahagia sekali, ya bune, meskipun hanya berukuran 4 x 12 meter.”

Sayang sekali kisah perjuangan kakek Darmin dan istrinya itu harus berakhir sia-sia saat pemerintah dengan paksa merampas tanah yang dibelinya dengan cucuran keringat. Lebih sakit lagi ketika mereka dikatakan penduduk liar yang seenaknya memakai tanah negara. Kini, cita-cita hidup tenang di hari tuapun pupus karena harus pindah ke lantai tiga Rusunawa dan membayar uang sewa tiap bulan. Bagi kakek tua sepertinya, uang tiga ratus ribu itu cukup banyak. 

 Ketika asik melamunkan masa lalu, tiba-tiba ada yang mengetok pintu rumahnya. Orang itu mengenakan pakaian rapi dan memperkenalkan diri sebagai salah satu anggota LSM. Katanya, ia akan membantu warga untuk mendapatkan hak mereka, misalnya dengan ganti rugi atau sewa gratis. 
 
“Benarkah? Terimakasih banyak, nak”, ucap Darmin berbunga. 

Harapan Darmin kembali berkembang, begitu pula istrinya yang langsung menghentikan kegiatan mengemasi barang. 

“Benar. Tapi saya perlu tahu, bagaimana bapak bisa mendapatkan rumah di sini?”, pinta lelaki yang mengaku berprofesi sebagai pengacara itu.

 Dengan penuh semangat, Darmin menceritakan masa lalunya sejak awal hingga mendapatkan tanah di tempat ini. Ia juga memperlihatkan surat tanah yang didapatkan dari pemilik asli. Surat yang katanya dari Belanda waktu masih menjajah Indonesia. Usai mendengar cerita Darmin, orang LSM itu memotret surat tersebut, kemudian pamit. 

 Ternyata bukan hanya kakek Darmin yang didatangi oleh orang LSM, tapi juga bu Nani. Janda dua anak itu terkenal sebagai cucu pahlawan di Kampung Pulo. Dulu, kakek bu Nani ikut berperang melawan kolonial di Ambarawa yang dipimpin oleh Jendral Soedirman. Setelah kakinya pincang karena tertembak, beliau kemudian menetap di Kampung Pulo yang kala itu masih berupa hutan dan belum banjir seperti sekarang ini.
 
“Adakah dokumen yang membuktikan kalau kakek bu Nani adalah seorang veteran?”, Tanya orang LSM itu.
“Ada, pak”, jawab bu Nani bersemangat.
“Sekalian dengan surat tanahnya, bu.”

Orang-orang LSM  itu sengaja mengumpulkan semua data dari penduduk untuk diperjuangkan. Bisa dari nilai historis, sosial kemanusiaan, ataupun surat verbonding yang menurut undang-undang setara dengan sertifikat tanah. Harapannya, pemerintah mau melihat kondisi mereka sekali lagi dan berbaik hati memberikan ganti rugi. 
 
“Ini, pak”.

 Bu Nani menyerahkan beberapa dokumen seperti surat tanah zaman Belanda, foto kakeknya, sampai seragam veteran yang masih tersimpan rapi. Melihat barang-barang itu, janda berusia tiga puluhan itu berkaca-kaca. Ia teringat dengan kakek yang amat disayangi itu. 

Kata kakek bu Nani, “tak mengapa sekarang menantang maut, asal anak cucu bisa hidup dengan damai.”

Tapi sekarang, cucu pahlawan itu justru menderita di negeri yang pernah dimerdekakannya ini. Orang LSM adalah harapan terakhir bu Nani untuk mendapatkan ganti rugi. Sebenarnya, bu Nani sudah beberapa kali mencoba mengubah surat tua itu menjadi sertifikat sah dari pemerintah Indonesia. Sayang, selalu gagal. Lelah berurusan dengan birokrasi, bu Nani memilih pasrah. 
 
Bukan hanya orang LSM saja yang datang, tapi juga wartawan dari berbagai stasiun TV. Mereka terlihat sedang mewawancarai perwakilan warga dan LSM yang berkecimpung dalam urusan Kampung Pulo. Berbagai pertanyaan dilontarkan, mulai awal diskusi dengan pemerintah, sebab penduduk tak mau pindah, hingga sejarah Kampung Pulo. Tiba-tiba saja nama Kampung Pulo menjadi begitu tenar di Indonesia. Hampir semua media menyiarkan berita tentang kericuhan di Kampung Pulo, lengkap dengan kisah masa lalunya. Orang-orang dari luar Jakarta juga ikut membicarakannya.

Tapi, apakah mereka berhasil membuat penduduk mendapatkan ganti rugi? Rupanya Gubernur provinsi itu bersikukuh dengan pendiriannya. Tidak ada negosiasi lagi. Semua penduduk harus berpindah ke Rusunawa. Satu rusun untuk satu rumah, begitu pembagiannya. Tentu saja keluarga besar yang sebelumnya tinggal satu atap kelimpungan karena tempat tersebut tidak cukup untuk merebahkan diri seluruh anggota.

Masalah ini kembali menjadi topik hangat yang mempertebal kantong media. Mereka membuat sebuah tayangan wawancara dengan background anak-anak yang tengah berkeliaran di halaman Rusunawa. Orang-orang yang dianggap ahli juga ditanyai tentang solusi untuk permasalahan tersebut. Tapi, lagi-lagi hal itu hanya ocehan belaka. Toh, pada akhirnya semua diskusi dan omongan mereka tak mengubah keadaan. 
 
Melihat tayangan di televisi itu, kakek Darmin mengelus dada. Istrinya yang sibuk menata barang-barang juga ikut iba. 

“Mau kemana, kek?”, tanya nenek Naimah saat kakek melangkahkan kaki dari rumah.  
“Cuma jalan-jalan”, jawabnya sederhana tanpa menengok. 

Beberapa langkah meninggalkan rumah, kakek Darmin kembali lagi. 

“Tolong buatkan teh manis satu teko, Bu.”

Belum sempat nenek Naimah bertanya, kakek sudah hilang dari pandangan. Tanpa banyak menduga, langsung saja dituruti kehendak suaminya itu. Mungkin, suaminya ingin menikmati teh manis setelah lelah berjalan-jalan. 

Tidak berselang lama, kakek sudah kembali ke rusun, tepat saat teh disuguhkan di meja. Kali ini kakek tidak sendirian, ada dua orang di belakangnya. Mereka adalah seorang ayah dan anak laki-laki dari rusun yang dihuni duabelas orang. Yah, keluarga itulah yang sejak sore diperbincangkan media. 

“Mereka akan tinggal disini, bu.”

Nenek Naimah kaget. Ia tak menyangka kakek Darmin akan berbuat demikian. Tapi, ia memahami kondisinya, kemudian mempersilahkan masuk dan menunjukkan kamar untuk tamunya tersebut.

“Terimakasih”, balas mereka berdua sambil meletakkan dua tas besar di kamar itu. 

Kakek Darmin, nenek Naimah, dan dua tamunya itu kemudian mengobrol santai sambil menikmati teh. Banyak hal yang diceritakan, mulai memperjuangkan rumahnya di Kampung Pulo, kedatangan LSM, wartawan,  hingga saat tidur bersama sebelas anggota keluarga lain dalam satu rusun.
 
“Bagaimana kakek bisa kepikiran membawa kami ke sini?”, tanya tetangganya itu heran.
“Ah, aku hanya mencoba bertindak daripada banyak bicara seperti mereka (menunjuk televisi), tapi nihil”, sindir kakek Darmin terkekeh.
 Mereka bertiga tertawa keras mendengar jawaban yang menohok itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar