Gas airmata masih menyelimuti langit
ibukota, khususnya kawasan Kampung Pulo. Terik matahari siang tergantikan oleh
embun pekat yang mengganggu pengelihatan. Orang-orang yang sejak tadi
berkerumun untuk menghadang petugas, kini malah berlarian kocar-kacir. Salah
satu diantaranya adalah kakek Darmin, seorang penduduk Kampung Pulo berusia 65
tahun.
Jika orang-orang mampu berlari
kencang menyelamatkan diri, kakek itu hanya tertatih dengan kaki rapunhnya,
menyusuri gang demi gang menuju rumah. Sejak terdiagnosa reumatik dua tahun
lalu, kaki kakek Darmin tak lagi mampu berjalan cepat. Dia kemudian memilih
untuk mendekam di balik bak sampah besar selama kericuhan itu berlangsung.
Jantungnya terus berdegub, sementara bibirnya tak berhenti komat-kamit, berharap
Tuhan mau menyelamatkan dari kejaran para aparat.
“Duh Gusti,
sampai kapan aku harus di sini?”, keluhnya saat bau sampah menusuk hidung.
“Seharusnya,
aku tadi tak datang”, rintih kakek tua itu menyesal.
Setelah berjam-jam sembunyi, kakek
tua itu memberanikan diri untuk mengintip. Udara mulai bersih dan suasana juga lebih
tenang.
“Sepertinya
sudah aman”, gumamnya.
Lelaki asal Probolinggo, Jawa Timur
itu kemudian melangkahkan kaki dengan wajah kuyu. Ia tak tahu harus bicara apa
pada istrinya tercinta nanti.
“Ah, pasti Naimah
sudah mendengar berita dari tetangga”, bisiknya dalam hati.
Benar, sesampainya di rumah, Naimah,
istri kakek Darmin tak menanyakan apapun. Ia hanya diam dan menyeduh teh. Meski
begitu, beberapa saat kemudian, kakek Darmin tanpa diminta menceritakan semua
yang dialami hari ini. Mendengar penuturan suaminya, Naimah menyarankan untuk
ikhlas. Sementara itu, tangan Naimah mulai mengemasi barang-barang di rumah
mereka.
“Tak semudah
itu, bune”, elaknya, “Kau tahu betul
perjuanganku untuk memiliki rumah ini.”
Tangan kakek Darmin mengusap dinding tembok yang
mengingatkannya pada kenangan masa lalu. Tahun 1975, ia menjejakkan kaki untuk
pertama kali di ibukota Jakarta. Kala itu Jakarta belum sesak seperti sekarang.
Berbekal uang recehan, Darmin muda mencoba mengubah nasib. Namun apa daya, dia
hanya bisa menjadi kuli angkut di pasar Rejosari, dekat dengan Kampung Pulo.
“Aku tidak
lupa, pakne. Kita bahkan pernah
jualan ketoprak keliling hingga tengah malam buat nambah tabungan”, ucap Naimah
ikut membayangkan masa lalu mereka.
“Kita
menabung puluhan tahun, lalu dapat tanah di sini”, tambah kakek Darmin, “saat
itu rasanya bahagia sekali, ya bune,
meskipun hanya berukuran 4 x 12 meter.”
Sayang sekali kisah perjuangan kakek
Darmin dan istrinya itu harus berakhir sia-sia saat pemerintah dengan paksa
merampas tanah yang dibelinya dengan cucuran keringat. Lebih sakit lagi ketika
mereka dikatakan penduduk liar yang seenaknya memakai tanah negara. Kini, cita-cita
hidup tenang di hari tuapun pupus karena harus pindah ke lantai tiga Rusunawa
dan membayar uang sewa tiap bulan. Bagi kakek tua sepertinya, uang tiga ratus
ribu itu cukup banyak.
Ketika asik melamunkan masa lalu,
tiba-tiba ada yang mengetok pintu rumahnya. Orang itu mengenakan pakaian rapi
dan memperkenalkan diri sebagai salah satu anggota LSM. Katanya, ia akan
membantu warga untuk mendapatkan hak mereka, misalnya dengan ganti rugi atau
sewa gratis.
“Benarkah?
Terimakasih banyak, nak”, ucap Darmin berbunga.
Harapan Darmin kembali berkembang,
begitu pula istrinya yang langsung menghentikan kegiatan mengemasi barang.
“Benar. Tapi
saya perlu tahu, bagaimana bapak bisa mendapatkan rumah di sini?”, pinta lelaki
yang mengaku berprofesi sebagai pengacara itu.
Dengan penuh semangat, Darmin
menceritakan masa lalunya sejak awal hingga mendapatkan tanah di tempat ini. Ia
juga memperlihatkan surat tanah yang didapatkan dari pemilik asli. Surat yang
katanya dari Belanda waktu masih menjajah Indonesia. Usai mendengar cerita
Darmin, orang LSM itu memotret surat tersebut, kemudian pamit.
Ternyata bukan hanya kakek Darmin
yang didatangi oleh orang LSM, tapi juga bu Nani. Janda dua anak itu terkenal
sebagai cucu pahlawan di Kampung Pulo. Dulu, kakek bu Nani ikut berperang
melawan kolonial di Ambarawa yang dipimpin oleh Jendral Soedirman. Setelah
kakinya pincang karena tertembak, beliau kemudian menetap di Kampung Pulo yang
kala itu masih berupa hutan dan belum banjir seperti sekarang ini.
“Adakah
dokumen yang membuktikan kalau kakek bu Nani adalah seorang veteran?”, Tanya orang
LSM itu.
“Ada, pak”,
jawab bu Nani bersemangat.
“Sekalian
dengan surat tanahnya, bu.”
“Ini, pak”.
Bu Nani menyerahkan beberapa dokumen
seperti surat tanah zaman Belanda, foto kakeknya, sampai seragam veteran yang
masih tersimpan rapi. Melihat barang-barang itu, janda berusia tiga puluhan itu
berkaca-kaca. Ia teringat dengan kakek yang amat disayangi itu.
Kata kakek
bu Nani, “tak mengapa sekarang menantang maut, asal anak cucu bisa hidup dengan
damai.”
Tapi sekarang, cucu
pahlawan itu justru menderita di negeri yang pernah dimerdekakannya ini. Orang
LSM adalah harapan terakhir bu Nani untuk mendapatkan ganti rugi. Sebenarnya,
bu Nani sudah beberapa kali mencoba mengubah surat tua itu menjadi sertifikat
sah dari pemerintah Indonesia. Sayang, selalu gagal. Lelah berurusan dengan
birokrasi, bu Nani memilih pasrah.
Bukan hanya orang LSM saja yang datang, tapi juga wartawan
dari berbagai stasiun TV. Mereka terlihat sedang mewawancarai perwakilan warga
dan LSM yang berkecimpung dalam urusan Kampung Pulo. Berbagai pertanyaan dilontarkan,
mulai awal diskusi dengan pemerintah, sebab penduduk tak mau pindah, hingga
sejarah Kampung Pulo. Tiba-tiba saja nama Kampung Pulo menjadi begitu tenar di
Indonesia. Hampir semua media menyiarkan berita tentang kericuhan di Kampung
Pulo, lengkap dengan kisah masa lalunya. Orang-orang dari luar Jakarta juga
ikut membicarakannya.
Tapi, apakah mereka berhasil membuat
penduduk mendapatkan ganti rugi? Rupanya Gubernur provinsi itu bersikukuh
dengan pendiriannya. Tidak ada negosiasi lagi. Semua penduduk harus berpindah
ke Rusunawa. Satu rusun untuk satu rumah, begitu pembagiannya. Tentu saja
keluarga besar yang sebelumnya tinggal satu atap kelimpungan karena tempat
tersebut tidak cukup untuk merebahkan diri seluruh anggota.
Melihat tayangan di televisi itu,
kakek Darmin mengelus dada. Istrinya yang sibuk menata barang-barang juga ikut
iba.
“Mau kemana,
kek?”, tanya nenek Naimah saat kakek
melangkahkan kaki dari rumah.
“Cuma
jalan-jalan”, jawabnya sederhana tanpa menengok.
Beberapa langkah meninggalkan rumah,
kakek Darmin kembali lagi.
“Tolong
buatkan teh manis satu teko, Bu.”
Belum sempat nenek Naimah bertanya,
kakek sudah hilang dari pandangan. Tanpa banyak menduga, langsung saja dituruti
kehendak suaminya itu. Mungkin, suaminya ingin menikmati teh manis setelah
lelah berjalan-jalan.
Tidak berselang lama, kakek sudah kembali
ke rusun, tepat saat teh disuguhkan di meja. Kali ini kakek tidak sendirian,
ada dua orang di belakangnya. Mereka adalah seorang ayah dan anak laki-laki
dari rusun yang dihuni duabelas orang. Yah, keluarga itulah yang sejak sore
diperbincangkan media.
“Mereka akan
tinggal disini, bu.”
Nenek Naimah kaget. Ia tak menyangka
kakek Darmin akan berbuat demikian. Tapi, ia memahami kondisinya, kemudian mempersilahkan
masuk dan menunjukkan kamar untuk tamunya tersebut.
“Terimakasih”,
balas mereka berdua sambil meletakkan dua tas besar di kamar itu.
“Bagaimana
kakek bisa kepikiran membawa kami ke sini?”, tanya tetangganya itu heran.
“Ah, aku
hanya mencoba bertindak daripada banyak bicara seperti mereka (menunjuk
televisi), tapi nihil”, sindir kakek Darmin terkekeh.
Mereka bertiga tertawa keras
mendengar jawaban yang menohok itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar