Menjalani kehidupan
rumah tangga ternyata tak semudah yang dibayangkan pada awalnya. Yah, cinta
saja tak cukup untuk menjamin kebahagiaan berdua. Bukankah cinta begitu rapuh
ketika diterpa badai ekonomi, perselisihan dengan mertua, saudara ipar, pekerjaan
yang menumpuk, anak, kecemburuan dan perbedaan pendapat. Bahkan, masalah agama
seringkali menggoyahkan hubungan yang dibalut suci oleh janji. Jika tak pandai
menyikapi, jalinan itu akan kandas.
Lalu, apa yang sebenarnya diperlukan
untuk mempertahankan keharmonisan (tak sekadar hidup bersama tapi hampa)?
Kesadaran. Sadar bahwa diri kita dan pasangan perlu dibahagiakan. Tentu tak
bisa dari satu pihak, melainkan keduanya. Mestinya masing-masing bisa menjadi
sahabat untuk pasangannya. Saling terbuka, menghormati pendapat, mencari solusi
tengah, dan mengimplementasikannya. Jika demikian, saya rasa hubungan pasutri
akan tetap harmonis.
Tapi praktek dari teori di atas tentu
tak gampang. Seringkali kita temui orang yang teramat egois dengan pendapatnya
sendiri. Jangan terburu menyalahkan. Mungkin saja hal itu terjadi akibat cara
pikir yang jauh berbeda. Masing-masing diri kita punya prinsip yang kita yakini
kebenarannya. Bila prinsip itu bertolak belakang dengan pasangan, bisanya akan timbul banyak percekcokan. Dia keliru dan kitalah yang benar. Sadarkah Anda bahwa
pasangan pun juga merasa demikian? Merasa dirinya benar dan Anda salah. Maka,
perlu sebuah pemahaman bahwa apa yang kita yakini benar tak selamanya benar.
Dengan begitu, kita masih bisa menerima prinsip kebenaran yang dianut oleh
pasangan.
Inti dari ulasan pendek kali ini
adalah berusaha bahagiakan pasangan dengan bersikap terbuka, menghormati
pendapatnya, memahami tentang dirinya, dan membuka diri atas kebenaran yang
diyakini orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar