Rasa sakit yang mendera
Membuahkan mimpi bagai angan
Menembus
sekat asa
Merobohkan kekerdilan
Tapi kehampaan nyata adanya
Meninggalkan sejuta tanya
Akankah mimpi bukan lagi angan?
Seribu langkah
telah kulalui. Seribu rencana terbentang dan seribu hinaan kubuang jauh. Tapi
aku masih saja resah. Entahlah, semua terasa semakin runyam. Risau! Itulah kata
yang tepat untukku saat ini. Seperti orang bodoh yang hanya bisa kesana kemari
menangkap udara. Berkutat dengan bantal dan guling diatas ranjang. Memikirkan
cara menyelesaikan masalah. Tetap saja, tak ada jalan yang kutemui. Lebih baik
keluar dan mengobrol dengan siapa saja.
“Aku
bingung”, tersenyum canggung, kemudian duduk disampingmu penuh kekhawatiran.
“Kenapa?”,
jawabmu tenang
Mataku menatap
nanar, menceritakan segala kebimbangan hati. Tidak, aku tidak bimbang untuk
memilih. Tapi aku tidak tahu jalan mana yang akan kutempuh. Aku punya mimpi.
Dan mimpi itu nyata dalam anganku. Hanya, aku bingung bagaimana memulainya.
“Yang
penting belajar, agar bisa masuk”, katamu memberiku semangat, seolah tak ada
masalah lain.
“Tapi,
kalau tidak tahu mau kemana, buat apa belajar?”
Kau diam, meneruskan pekerjaanmu.
Aku diam, dengan masalah yang menari di kepala. Menunggu jawabanmu. Sebentar
kemudian kau duduk, bersandar pada tembok putih rumah kita, menghentikan
pekerjaaanmu. Menghela nafas, lalu tersenyum getir. Sungguh, senyum yang sangat
menyesakkan. Tanpa bicara, aku tahu
maksud hatimu sebenarnya.
“Kau
inginnya kemana?”, mencoba memahami maksudku. “Katanya mau ke UNS?” tanyamu
seraya memandangku dan tersenyum
kembali.
“Iya,
tapi harus mencari alternatif kalau tidak diterima kan?”, jawabku datar dengan
suara lirih dan wajah tertunduk.
Entah kekuatan dari mana, tiba-tiba
aku mengatakannya, “Mungkin juga akan mendaftar di unair ambil jurusan
kesehatan masyarakat.”
“Seperti bulik Ayu? Nanti tidak
sulit cari kerja?”, kali ini kau memberi pendapat. Mau mencegah, tapi dibatasi
rasa sungkan. Karena bulikku tidak bekerja setelah lulus dari jurusan itu, bagimu
itu tak baik untukku.
“Hanya untuk batu loncatan, agar aku
bisa meneruskan keluar negeri”
“Juga
mau keluar negeri?”, kau tersentak kaget. Tapi ada guratan senyum dibibirmu,
entah mentertawakanku atau salut dengan impianku.
“Hahaha….desa ini pasti ramai, kedua
anakku kuliah di luar negeri”, tawamu terkekeh bagaikan sindiran kenaifan dalam
diriku. Aku tak bisa menjawab. Hanya tertunduk dan semakin galau.
“Sekarang, ingin DV atau S1?”, kau bertanya
lagi.
“Semua
akan aku coba”, jawabku sekenanya.
“Ibu mendukungmu. Tentu ibu bangga. Tapi biayanya
bagaimana?”, Ungkap perempuan berkulit putih yang terlihat pasrah. Aku tahu kau
pasti mendukungku. Tentu bukan itu yang kuharapkan dari dirimu. Pertanyaanmu
terakhir, itulah solusi yang ingin kudapatkan.
Sejenak,
tersenyum getir beliau memandangku tanpa bicara, seolah menyesali
ketidakerdayaannya untuk membiayaiku. Masih disana, ditempatnya duduk. Aku
beranjak. Mencari kesejukan dari aliran air dingin yang kini membasahi
kerongkonganku.
Rupanya masih
belum ada solusi. Aku teringat siapa diriku. Anak seorang penjual kerupuk,
dengan hutang menumpuk berani melukis mimpi untuk kuliah lagi, kemudian
mengambil program magister di luar negeri. Bimbang, mimpi ataukah angan yang
kumiliki. Sebulan lagi waktunya pendaftaran. Tapi sepersenpun tak ada uang di
tanganku. Berkutat di depan laptop yang kubeli saat kuliah DIII, mencari
beasiswa yang mungkin kudapat. Tapi sulit untuk program alih jenjang sepertiku.
Tanganku
gemetar, airmata tak bisa kubendung, sedang dadaku naik-turun menahan beratnya
beban. Tenggelam dalam ketakutan yang mencengkeram. Bagaimana jika aku tidak
bisa mendapatkan beasiswa? Bagaimana jika aku tidak bisa kuliah lagi? Bagaimana
masa depanku? Akankah aku menjadi pengangguran? Beribu pertanyaan mendera
menyesakkan dada. Entah berapa lama tangisku tumpah bersama kekhawatiran yang
menjelma menjadi monster seolah siap merenggut masa depanku dalam kunyahannya.
Akankah kau tetap terpaku dalam problema
hidupmu
Hanya menambah kelu
ingatkah kau bersimpuh dihadapan Tuhanmu
memohon petunjuk, jalan kebenaran
Senantiasa ingatlah
pada Allah yang kuasa
mohon lindunganNya
berusaha karenaNya, bertawakal padaNya
niscaya kan kau capai kemenangan dariNya
Alunan nada dari
winampku terdengar begitu indah. Syairnya mampu merasuk kalbu, menghentikan
derai airmataku seketika. Seolah memberi jawaban atas kegalauan dan ketakutan. Lagu
itu, yang entah kapan aku memutarnya, mengingatkanku padaNya. Perlahan kesadaran
membayang dalam benak, sedang jari-jari lentikku menghapus lelehan airmata yang
mulai menyurut.
Aku tidak hidup sendiri, aku punya Dia yang
selama ini memberiku segalanya. Bukankah Dia selalu memberi apapun yang aku
butuhkan? Bukankah Dia menyembuhkan hantaman duka dan lara dengan menggulirkan
waktu yang menghapus jejak-jejak ingatan? Betapa bodohnya jika aku menangis
seperti ini, bukan bersimpuh dihadapanNya. Aku tahu Dia punya segalanya. Dan
aku akan menangis untuk meminta kepadaNya.
Gemericik air
membasuh mukaku sekaligus kegundahan yang barusan mengguncang hati ini.
Kesegarannya menawarkan panasnya airmata. Menapaki tangga kayu menuju sajadah
panjangku. Mengambil kain putih penutup tubuh lesu tak berdaya. Bersimpuh dengan
derai airmata. Kali ini bukan lagi airmata ketakutan, tapi airmata penghapus
risau dariNya.
Dalam duka ada hati yang nestapa
Dalam lara ada mimpi yang membara
Sesaat jalan menggelap
Membuat gundah kaki-kaki yang tertatih
Namun cahaya tetaplah cahaya
Takkan
henti menyinari
Dikala
hati meredup bagaikan senja
Akan
ada nyanyian syurga
Meniupkan
nafas kehidupan kedalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar