Malam
semakin pekat, dua kaki beradu dengan waktu menyusuri kegelapan tanpa batas.
Hatinya kelu, beku tanpa rasa. Tekadnya bulat, menyelesaikan hajat sebelum
matahari terbit.
***
“Surti!”
Suara yang setiap pagi terdengar bagai lolongan anjing kelaparan. Surti hafal
betul tabiat suaminya itu.
“Surti!”
Mau
tak mau ia keluar juga. Bau alcohol menyeruak ketika Surti membuka pintu kamar.
“Bruk!”,
suaminya jatuh diatas sofa ruang tamu.
“Apa
tidak ada yang bisa kau kerjakan selain mabuk?”
“Jangan
banyak bacot! Ambilkan aku makanan, aku lapar.”, katanya dengan suara
naik-turun, kemudian memejamkan mata lagi.
“Tidak
ada makanan!”, jawab Surti tegas.
“Prakk!”,lelaki
itu melempar sepatunya ke meja kaca. Begitu kebiasaannya jika yang dia inginkan
tidak dituruti.
“Lakukan
saja apa yang kau mau! Bakar sekalian rumahmu ini!”
Surti segera pegi ke warung, membiarkan
suaminya dalam keadaan mabuk tanpa makanan. Parto tak berdaya mengejarnya.
Surti sudah jengah dengan perilaku suaminya itu. Beruntung, dia masih punya
warung sebagai tempat pelarian kalau suaminya sedang marah.
***
Perkebunan sawit bagaikan lorong gelap
yang tak ada ujungnya. Lolongan anjing dan jeritan burung hantu menegakkan bulu
kuduk siapapun yang mendengarnya. Surti berlari sejauh mungkin dari pemukiman
warga. Disingkirkannya rasa takut hatinya, mencoba tidak percaya akan cerita
menyeramkan.
***
Hari ini warung lumayan ramai. Surti
mendapat uang Rp 100.000,00 dari berjualan nasi dan rujak petis. Malam semakin
larut, dingin semakin merasuk. Surti masih mencuci piring, gelas, dan peralatan
lainnya. Tiba-tiba ia teringat pada putra semata wayangnya. Sudah tiga hari
demamnya tidak turun. Ia ingin membawa putranya ke dokter dengan uang perolehan
hari ini.
Setelah pekerjaannya selesai, Surti segera
pulang. Pukul 22.00 tepat dia sampai di pekarangan rumahnya yang sangat luas.
Di belakang rumah ada lima hektar perkebunan sawit. Dahulu perkebunan itu dan
beberapa hektar lainnya adalah milik suaminya, tapi sekarang telah habis untuk
berjudi dan mabuk-mabukan. Kini tinggal rumah yang tersisa.
Parto,
suami Surti sudah berdandan necis di ruang tamu. Rupanya ia menunggu istrinya
sedari tadi.
“Jam
segini baru pulang? Kemana saja kau?”, gertak suaminya sambil berkacak
pinggang. Surti melengos tak menghiraukan suaminya.
“Mau
kemana kau?”
Surti menghentikan langkahnya. “Kau sendiri
mau kemana?”
“Apa
urusanmu tanya-tanya? Laki-laki tak perlu minta ijin istri kalau mau keluar.”
“Juga
tak perlu minta uang”, timpal Surti geram.
“Bangsat!
Berani kau padaku?”, Laki-laki itu menjambak rambut Surti. Kontan Surti
mengerang kesakitan.
“Berikan
uangmu padaku! cepat!”
“Aku
tidak ada uang!”
“Persetan!!
Berani kau bohongi aku?”, kali ini leher Surti jadi sasaran tangannya. Surti
sulit bernapas.
“Hari
ini warungmu ramai, tapi kau bilang tak ada uang? Mau cari mati?”, bentaknya
sambil menekik leher Surti dan mengeluarkan belati.
“Serahkan
uangmu atau nyawa anakmu? Hah?”, ancam Parto sembari menuju kamar anaknya.
“Tunggu!
Akan kuambilkan”, akhirnya Surti menyerah.
“Hahahaha”,
tertawa penuh kemenangan.
“Bedebah
kau!”, Suaminya merampas uang ditangannya, kemudian mendorongnya kearah pintu.
“Jangan
macam-macam denganku!” Kemudian dia pergi entah kemana.
***
Setelah berjalan cukup jauh, Surti
berhenti dan duduk di atas batu di tengah semak belukar. Nafasnya
terengah-engah, peluhnya membanjiri tubuh sintalnya yang kini bergulat dengan
pekat. Didekapnya tubuh putranya yang merana itu. Diciuminya dengan lelehan
airmata.
***
Ada sesuatu yang hangat menetes di
kening Surti. Batinnya semakin teriris saat menyadari darah segar mengalir di
keningnya. Malang sekali nasibnya, nasib gadis cantik nan cerdas yang dahulu
dielu-elukan warga desanya.
Lima tahun lalu, gadis itu berkekasih
seorang guru honorer di sebuah madrasah ibtidayah. Tapi orang tua Surti tidak
menyetujui hubungan mereka. Ibunya menjodohkan Surti dengan Parto, laki-laki
bengis anak pemilik perkebunan sawit yang kaya raya. Alasan kedua orangtuanya
sama dengan kebanyakan orang, yaitu materi. Menurut mereka limpahan harta
menjamin kebahagiaan putrinya. Surti sendiri tak pernah menyetujui pernikahan
itu dengan alasan tabiat Parto yang suka mabuk-mabukan, berjudi, dan main
perempuan. Tapi orangtuanya memaksa dengan dalih semua tabiat buruk bisa
berubah setelah merasakan tanggung jawab keluarga.
***
Setelah
istirahat beberapa saat, nafasnya mulai teratur. Surti merasa tempat ini sudah
cukup jauh dari pemukiman penduduk. “Yah, ini tempat yang tepat”, bisiknya
dalam hati. Segera ia mulai ritual yang tak pernah ia lupakan sepanjang sejarah
hidupnya. Ritual yang akan membuat parit airmata setiap kali mengenangnya.
***
Tangisan putranya membuyarkan lamunan
Surti. Rasa iba pada putranya menyeruak mengganti kesedihan dirinya. Putranya
yang baru berumur tiga tahun harus menghadapi kerasnya kehidupan. Setiap hari
menahan pukulan dan tamparan ayahnya, tanpa punya kekuatan untuk mengelak.
Airmata tak bisa dibendung lagi ketika tangannya menyusuri tubuh putranya yang
biru lebam merintih kesakitan. Badannya sangat panas. Surti hendak mengambil
air untuk mengompres. Tiba-tiba putranya menangis keras. Ia segera menoleh dan
menghampiri bocah itu. Tubuhnya kejang. Surti tak tahu apa yang harus
dilakukan.
Surti menangis. Hanya menangis saja. Tubuhnya
limbung. Malaikat maut seolah membisikkan kematian ditelinganya. Bocah
laki-laki itu megap-megap, matanya membalik keatas. Surti termangu dalam haru.
Anak yang Sembilan bulan dikandungnya dengan kebencian pada Parto. Anak yang
tumbuh tanpa kasih saying ayahnya. Anak yang kini disayang dan dikasihani. Anak
yang menjadi pelipur laranya. Kini menderita tanpa dosa. Tanpa bisa ia tolong.
***
Ia terus beradu dengan debu. Mencakar
bumi dengan lelehan airmata seorang ibu. Entah apa yang dirasakannya. Berkali-kali
ia berbisik “Ini lebih baik daripada setiap hari menanggung siksa”. Terkadang ia merasa lega, terkadang iba.
Kembali Surti menghampiri putranya yang
semakin membiru. Ia tak pernah tahu tanda kematian. Yang ia tahu kini putranya
tak lagi bergerak dan bernafas.
Selesai melakukan ritual terakhir untuk
putranya, ia kembali berlari. Berlari dan berlari. Tak tahu kemana kaki akan
melabuhkan deritanya.
***
Surti
membuka matanya perlahan ketika suara kedamaian menghiasi telinganya. Suara
yang dulu kerap didengarnya.
“Laa
ilaha illallah…la ilaha illallah…la ilaha illallah”
Matanya melucuti sekitar. Ia kini tak
lagi di hutan, melainkan di sebuah gubuk kedamaian, dikelilingi orang-orang
yang sedang berdzikir. Ia bangun, kemudian menyapa manusia-manusia disekelilingnya.
Diam, tanpa jawaban. “Mereka sedang berdoa, aku tak boleh mengganggu”,
pikirnya. Kini hatinya begitu tentram, sebelum menyadari jazadnya yang terbujur
kaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar