Seorang laki-laki
berbadan jangkung duduk di sofa ruang tamu ditemani istrinya. Asap rokok
mengepul memenuhi ruangan itu. Istrinya sedang menyulam benang wol yang akan
dibuat taplak meja. Percakapan terjadi diantara meraka.
“Lima hari lagi selamatan
emak. Mas sudah siapkan uang untuk belanja?”, tanya perempuan berambut panjang
yang digelung dengan karet gelang.
“iya, aku tahu”, jawab
Parlan, suaminya.
“Kalau sudah, aku akan
segera memesan belanjaan di warung mbak Rah besuk”, kata perempuan itu sambil
menghentikan aktivitasnya dan menoleh pada Parlan.
“Belanjanya nanti saja”
“Kenapa? Barang yang
harus dibeli cukup banyak. Kita kan harus ngasih makan sekitar seratus orang”,
perempuan itu terlihat heran dan mengernyitkan dahi.
Parlan mematikan rokoknya
di asbak kuno itu, lalu menghadap istrinya. Dipandangnya istrinya lekat-lekat.
“ Seberapa pentingkah selamatan itu?”
“Mas ini bagaimana sih?
Selamatan itu mendoakan emak biar nggak disiksa gusti Allah”, jelas istrinya.
“Memang dengan
selamatan orang mati pasti masuk surga?”, sela Parlan menyelidik.
“Ya kalau masalah surga
dan neraka mah, urusan gusti Allah, tapi sebagai anak kita wajib mendoakan. Mendoakan
orang tua itu menunjukkan bakti kita padanya. Memangnya mas mau kalau mati
nanti tidak didoakan sama anak kita?”, ceracau istrinya.
Parlan menghela nafas,
dilururskan kakinya yang sedari tadi ditekuk di atas kursi. “Kalau masalah
mendoakan, sudah tiap hari. Tidak perlu selamatan segala”
“Ya beda lah mas, kalau
diri sendiri yang mendoakan kurang banyak. Perlu ngundang tetangga agar lebih
banyak yang dibaca, jadi emak siksaannya ringan”. Kali ini istri Parlan agak
bergumal.
Parlan berdiri
merapikan bajunya dan ngeloyor keluar. Istrinya berteriak. “Mau kemana mas?”
“Ngopi”,
jawabnya sambil terus berjalan keluar. Sementara itu, istrinya geleng-geleng
kepala melihat tingkah suaminya itu.
Di
warung kopi milik mbah Sumiem, Parlan menyilakan kakinya sambil menikmati kopi
kental dan gorengan. Sedang enek-enaknya ngopi, Bejo datang.
“Disini pak?”, sapa
Bejo pada Parlan.
“Ya”
“Di rumah nggak ada
kopi?”, tanyanya jeran karena tidak biasanya Parlan ngopi di tempat mbah
Sumiem. Sejak menikah, ia lebih banyak
di rumah. Katanya kopi di rumah lebih mantap karena dikasih gula cinta.
“Ada”
“Lalu?”, Bejo
menyelidik.
“Menemani mbah Sumiem.
Sejak ditinggal mati mbah Man kan disini sepi. Saya takut kalo mbah Sumiem
dibawa sundel bolong”, canda Parlan memecah kekauan.
“Hahaha….sundel bolong
mana yang mau sama mbah Sumiem? Mbah kan kebal. sudah kebanyakan dislameti”,
jawab Bejo sekenanya.
“Jo, kamu kan orang
jawa asli. Menurutmu selamatan itu ada manfaatnya nggak?”, Pertanyaan untuk
mencari pembenaran atas pendapatnya.
“Mas Parlan ini
bagaimana to? Selamatan itu kan tradisi turun temurun di tanah Jawa untuk
mendoakan mayit agar diringankan siksaannya. Itu termasuk ibadah lo mas”, jelas
Bejo seraya mengambil gorengan.
“Iya, tapi apa harus?
Seperti wajibnya sholat gitu?”, ia masih membela pendapatnya.
“Bukan begitu mas, tapi
kan ini untuk orang tua kita. Semakin banyak yang mendoakan semakin banyak
ganjaran yang dikirim, Jadi dosanya diampuni”, Bejo masih menahan diri.
“Berarti yang
dibutuhkan banyaknya bacaan?”, tanya Parlan lagi.
“Iya mas, kalo
mengundang banyak orang kan semakin banyak bacaan”, jelas Bejo dengan penuh
kemenangan.
Sementara Parlan masih gamang. Pikirannya
melayang pada keadaan yang kini menghimpitnya. Bukan maksud dirinya mengabaikan
orang tua istrinya yang telah meninggal. Namun, apa daya tangan tak sampai. Ia
memang mengantongi uang sekarang ini, Tapi kebutuhan keluarga tidak mungkin
diabaikan hanya untuk selamatan.
Minggu
depan SPP anaknya yang duduk di sekolah taman kanak-kanak harus dibayar, lima
hari kemudian setoran montor tidak mungkin ditunda. Kebutuhan semakin menyesak,
sementara ia hanya loper kerupuk yang digaji enam ratus ribu tiap bulan. Gaji
itu hanya cukup untuk makan sehari-hari. Kalau mau hutang, pada siapa?
Hutangnya pada saudara sudah setumpuk gunung, mana ada saudara yang percaya
padanya.
Udara malam membelai
tubuhnya yang jangkung. Matanya sulit terpejam. Ia masih saja memikirkan ucapan
istrinya dan Bejo tadi sore. Dalam hati, ia ingin mendoakan orang tua istrinya
itu yang berarti juga orang tuanya. Namun, darimana ia akan mendapatkan uang?
Parlan kenal betul
siapa istrinya. Meskipun terbilang sholeh, namun ia berhati keras. Segala yang
menjadi prinsipnya harus dituruti. Istrinya itu memegang kuat adat Jawa,
termasuk selamatan. Dulu, saat Parlan meminangnya, istrinya pernah bilang kalau
dirinya orang Jawa dan tidak akan meninggalkan tradisi kejawen. Saat itu, ia
pikir hal itu masalah mudah. Tapi sekarang fakta berkata lain. Ternyata
memegang adat itu perlu biaya dan mahal pula.
Parlan terus mencari
cara agar dapat melakukan selamatan. Ia tidak mungkin mencuri uang untuk acara
ibadah, ia juga tidak mungkin membohongi atau meminta-minta sedangkan masih
kuat bekerja. Tapi, untuk berkata jujur pada istrinya lebih tidak mungkin lagi.
Ah, masalah sepele yang sangat rumit.
Tiba-tiba,
ia mendapatkan ilham untuk melakukan sesuatu. Seulas senyum tersungging di
bibir tebalnya. Wajahnya kini sumringah. “Aku tahu apa yang harus
kulakukan”,bisiknya dalam hati.
Pagi-pagi buta Parlan
pergi ke rumah juragan kerupuk tempatnya bekerja. Ia berniat meminta Izin
selama tiga hari. Selama di perjalanan, pikirannya berkecamuk. Minta izin tiga
hari sama saja mematikan rezeki. Gajinya bulan depan akan dipotong, bahkan bisa
sampai sepertiga. Tapi segera ia tepis pikiran buruknya. Mudah-mudahan saja
juragan Kardi menerima alasannya dan tidak mengurangi gajinya bulan depan.
“Maaf gan, saya mau
izin dulu tiga hari”, kata Parlan saat menemui juragannya.
“Kenapa? Keluargamu
sakit?”, tanya Kardi heran karena tidak biasanya pekerjanya ini minta cuti.
Parlan termasuk pegawai yang telaten dan ulet. Kardi sangat menyukainya.
Apalagi Kardi mengnal Parlan sebagai pribadi yang jujur.
“Tidak gan,
Alhamdulillah keluarga saya sehat semua”, jawab Parlan.
“Lalu?”, Kardi menoleh
kearah Parlan dan menunggu jawaban.
“Saya harus mengurusi
acara selamatan almarhum ibu mertua, gan”, Parlan tertunduk, ia yakin
juragannya tidak akan mengizinkan begitu saja.
“Kalau urusan itu kan
bisa istrimu”, elak Kardi pada Parlan.
“Tidak bisa gan,
masalahnya selamatan kali berbeda dengan sebelumnya. Upacara kali ini tidak
hanya membaca tahlil bersama-sama”, terang Parlan yang semakin membuat Kardi
bingung.
“Maksudmu apa?”, jawab
Kardi bingung.
“Begini gan, saya dan
istri kan dari dua kebudayaan berbeda. Rencananya saya akan memadukan acara
selamatan disini dengan selamatan di tempat saya. Menurut sesepuh daerah asal
saya, selamatan untuk kematian seribu hari perlu ritual khusus selama tiga
hari. Acara seperti itu hanya dilakukan saat mengenang seribu hari kematian
seseorang. Karena hanya terjadi satu kali seumur hidup, maka saya bermaksud
menjalankannya. Saya juga harus memegang adat seperti juragan memegang adat
Jawa”, jelas Parlan panjang lebar.
Kardi hanya manggut-manggut saja. Dalam hati
ia membenarkan ucapan Parlan bahwa tradisi tiap daerah perlu dilestarikan. Ia
tidak bisa menghalangi orang dari daerah lain untuk melaksanakan upacara adat.
Jika ia melakukannya, berarti ia telah mematikan budaya bangsa Indonesia.
Dengan begitu, ia telah mengurangi kekayaan Negara karena keragaman budaya
adalah harta Negara yang paling berharga dan tentunya tidak bisa dikorupsi.
“Baiklah kalau begitu,
saya izinkan, tapi tidak lebih dari tiga hari”, jawab Kardi sambil
manggut-manggut kembali.
“Lalu gaji saya bagaimana
gan?”, selidik Parlan penuh harap agar gajinya tidak dipotong.
“Kalau kamu mau, ganti
saja di hari liburmu. Jadi anggap cutimu itu sebagai hari libur”, jawab Kardi
memberi solusi.
“Baiklah
gan, terimakasih banyak. Saya sangat senang gan”, ucap Parlan dengan penuh suka
cita. Diciumnya tangan juragan Kardi karena bahagia.
Kini,
tinggal aksi terakhir. Semoga aksinya kali ini berjalan lancar. Parlan mulai
mengemasi beberapa barang untuk dimasukkan ke dalam tas. Tak lupa ia bawa
beberapa makanan kering dan minuman untuk mengisi perut selama tiga hari.
Lastri,
istri Parlan muncul dari belakang dengan mengernyitkan dahi. Ia bingung dengan
tingkah Parlan yang terbilang aneh. Langsung saja didekati suaminya itu untuk
mencari tahu jawaban dari rasa penasarannya.
“Ada apa ini mas?”,
tanya Lastri kaget saat melihat tas ransel Parlan dipenuhi barang-barang.
“Mas mau semedi selama
tiga hari”, jawabnya penuh keyakinan.
“Semedi? Mas ini
seorang muslim, mana boleh melakukan semedi?”, Lastri mulai gusar
“Lho, semedi ini
berbeda dengan orang zaman dulu. Mas ini mau semedinya di kamar, kayak iktikaf
itu lho”, jelasnya perlahan pada istri tercintanya.
“Tapi ini bukan bulan
Ramadhan mas, mana boleh iktikaf?”, Lastri tetap mengelak. Ia tak mengerti
dengan sikap aneh suaminya. Menurutnya, suaminya ini belum pernah bertingkah
seaneh ini. Lagipula, ia tahu betul kalau Parlan adalah seorang muslim taat.
“Sini, duduk dulu”,
Parlan mengajak istrinya duduk di tepi pembaringan kamar mereka.
“Mas baru saja ingat
bahwa tiga hari lagi adalah peringatan seribu hari kematian emak. Selamatan
kali ini akan diadakan dengan cara berbeda”, Parlan mencoba memberi umpan pada
Lastri.
“Sungguh, saya tidak
mengerti maksud mas Parlan”, Lastri masih penasaran.
“Begini, adik pernah
bilang pada mas kalau adik ingin tetap memegang teguh tradisi Jawa yang melekat
dalam diri dik Lastri. Mas hargai itu dan berusaha untuk menjalani upacara adat
di sini seperti siraman pada saat pernikahan kita, mitoni, sepasaran bayi, dan
selamatan. Mas sungguh paham bahwa budaya adalah warisan leluhur yang harus
dilestarikan. Kalau tidak, maka musnahlah jati diri kita”, ungkap Parlan tenang
dan meyakinkan. Di sampingnya, Lastri sedang manggut-manggut mendengarkan
penjelasan suaminya.
“Dik Lastri kan tahu
kalau mas Parlan ini bukan orang Jawa. Mas Parlan juga punya adat yang ingin
dilestarikan. Sebagai manusia yang mencintai musyawarah mufakat dan demi
menjunjung tinggi nilai persatuan, maka mas ajak dik Lastri untuk mendiskusikan
masalah selamatan emak”, tambah Parlan yang rupanya mulai merasuki batin
istrinya.
“Iya, saya mengerti
mas. Memangnya mas mau bikin acara seperti apa?”, balas Lastri yang sedari tadi
diam mendengarkan.
“Dalam tradisi mas
Parlan, upacara selamatan untuk mengenang seribu hari almarhum itu dilakukan
dengan membaca surat yasin sebanyak-banyaknya”, cerita Parlan.
“Iya, disini juga
begitu mas”, sela Lastri tidak sabar.
“tapi dalam adat daerah
mas, yang membaca surat yasin adalah anaknya. Berdasarkan keterangan pak kyai
di desa mas, doa anak soleh itu dikabulkan. Oleh karena itu, sebaiknya seorang
anak banyak-banyak mendoakan orangtuanya, terlebih saat seribu hari, dimana
orang yang meninggal mengalami siksa kubur”, lanjut Parlan penuh kehati-hatian.
“Lalu?”, tanya Lastri
kembali.
“Doa itu dimulai tiga
hari sebelum hari-H. Anak diharuskan membaca surat yasin sebanyak-banyaknya
agar siksaan orang tua dikurangi. Selama ini kan mas mengikuti upacara adat
Jawa, termasuk dalam hal selamatan. Untuk saat ini, mas mohon izin pada dik
Lastri untuk melaksanakan tradisi daerah mas. Dik Lastri tidak keberatan kan?”,
ucap Parlan dengan penuh keyakinan kalau istrinya akan memenuhi keinginannya.
“Emm…bagaimana kalau
dua-duanya kita laksanakan?”, ujar Lastri memberi masukan.
Parlan tersentak. Tak disangka Lastri
akan berucap demikian. Upacara yang ia ceritakan adalah rekayasa agar istrinya
itu tidak melaksanakan selamatan yang mahal itu. Kini, Lastri malah meminta
dua-duanya dilaksanakan.
Parlan
putar otak. Ia memikirkan jawaban yang tepat untuk mengurungkan niat selamatan
Lastri. Parlan kembali menghela nafas. Tidak mungkin baginya jujur bahwa alasan
sebenarnya adalah karena ia tidak punya uang. Istrinya itu pasti memaksa
berhutang untuk melakoni upacara adat yang dilakukan secara turun temurun.
“Begini dik Lastri,
adik tahu kalau keuangan kita tidak terlalu baik. Masih banyak biaya yang mas
tanggung. Upacara selamatan daerah mas juga memerlukan biaya sehingga jika
digabung dengan selamatan adat Jawa biayanya akan membengkak”, ujarnya pelan,
berharap istrinya mau dikibuli.
“Biaya untuk apa mas?
Katanya yang mendoakan hanya anaknya?”, sergah Lastri agak cemberut.
“Dalam upacara itu, mas
harus membeli beberapa sak beras yang didoakan selama tiga hari. Pada puncak
acara, yaitu tepat seribu hari kematian emak, beras-beras itu akan dibagikan.
Tentunya, untuk membeli beras memerlukan uang ratusan ribu, bukan?”. Lastri
tampak kecewa. Dia tertunduk tanpa jawaban. Cepat-cepat Parlan meneruskan
pembicaraannya.
“Mas hanya ingin
melakoni upacara adat yang hanya sekali seumur hidup. Setelah ini, mas tidak
bisa lagi menjalaninya karena orang tua mas sudah meninggal dua-duanya.
Padahal, mas sangat rindu pada ritual itu. Mas cinta adat tanah kelahiran mas,
seperti dik Lastri mencintai budaya Jawa. Seandainya mas punya banyak uang,
pasti mas jalani keduanya. Tapi uang mas hanya cukup untuk melakoni salah
satunya. Sekarang terserah dik Lastri saja, kalau mau bersikeras, mas mengalah.
Biarkan budaya itu hanya meninggalkan jejak dalam lubuk hati”, ungkapnya merana
dengan keputusasaan. Dalam pikirannya, ia membayangkan apabila kata-katanya
kali ini gagal, maka jadilah selamatan yang memakan biaya jutaan itu
dilaksanakan.
Rupanya
Lastri iba juga melihat suaminya. Ia tersadar bahwa selama ini ia telah egois.
Suaminya juga punya tradisi yang harus dilestarikan. Ia juga punya kenangan dan
mencintai warisan leluhurnya, sama seperti dirinya. Akhirnya, hati Lastri luluh
juga.
“Baiklah, bila itu yang
mas inginkan Lastri mengerti”, ungkap Lastri penuh keikhlasan. Senyumbya
terlihat begitu tulus.
Parlan
langsung bersyukur dan menciumi istri tercintanya ini. Ia begitu bahagia karena
tidak jadi mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk upacara selamatan. Masalah
beras, ia tinggal beli saja sepuluh kilo, kemudian bagian bawah karung diisi
dengan jagung atau semisalnya yang lebih murah. Beras itu nanti dibagikan ke
desa sebelah saja agar istrinya tidak tahu tentang kebohongannya. Harga beras
sepuluh kilo tentu tak sebanding dengan biaya nasi kotak dan senek untuk
seratus orang. Belum lagi ia harus memberi makan tetangga yang memasak selama dua
hari ditambah teh hangat untuk tamu. Apabila ada saudara yang datang, maka
biayanya akan bertambah karena mereka akan membawa pulang makanan.
Menurut
tradisi di desa itu, yang memberi makanan tidak layak akan digunjing. Istrinya
sering menceritakan hal itu dan turut menggunjing tetangga yang memberi makanan
kurang layak menurut mereka. Oleh karena itu terpaksa, Parlan mengambil jalan
kebohongan demi kepulan asap dapur di rumahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar