Eksotisme Papua selalu terpancar bukan hanya dari alamnya yang
liar, namun juga dari kebudayaan unik primitif yang bertolak belakang dengan
budaya modern. Bila budaya modern menawarkan keindahan seni melalui persaingan
fashion dan teknik memasak praktis, adat suku pedalaman Papua justru percaya
diri dengan baju minimalis mereka dan teknik-teknik tradisional, pun dalam hal
memasak.
Lembah Baliem
merupakan lembah pegunungan Jayawijaya yang berada di Papua. Ibukota daerah
yang juga disebut sebagai Grand Baliem Valley ini adalah Wamena, salah
satu kota terkenal di Papua karena mudah dijangkau dengan transportasi udara. Yah,
transportasi udara memang masih menjadi andalan di Papua mengingat dataran yang
terjal dan kurang bersahabat.
Lembah tersebut dihuni beberapa suku pedalaman
Papua seperti suku Dani yang merupakan suku terbesar, suku Yali, dan suku
Lani. Pemandangan alam Lembah yang
berhawa dingin ini sungguh eksotik. Hal ini disebabkan tanah di Lembah
Baliem tergolong subur sehingga memiliki
berbagai tumbuhan yang menarik untuk dipandang mata.
Sejalan dengan
tanah subur di Lembah Baliem, maka mata pencaharian utama suku-suku di tempat
ini adalah bercocok tanam. Ubi jalar merupakan tanaman utama penduduk setempat
dan dijadikan sebagai makanan pokok. Disamping itu, mereka juga menanam sayuran
seperti wortel, pepaya, singkong, labu, dan jagung.
Primitive Culture di Lembah Baliem
Suku-suku di
Lembah Baliem ini bisa dibilang masih sangat primitif. Hal ini disebabkan
karena mereka benar-benar memegang teguh adat istiadat hingga saat ini. Ciri
khas yang paling mencolok dari budaya primitif tersebut adalah cara berpakaian
mereka yang masih mengenakan koteka. Koteka berasal dari daun
labu air yang dikeringkan dan disematkan pada alat kelamin laki-laki. Sedangkan
para perempuan disana hanya mengenakan rok dari jerami. Mungkin, penggiat
fashion perlu mengerahkan seluruh energi untuk mengubah pendirian suku pedalam
tersebut agar mau berpakaian lebih baik.
Selain koteka,
penduduk Lembah Baliem juga memiliki beberapa adat yang menjadi kearifan lokal.
Sebut saja Festival Lembah Baliem yang sangat terkenal, rumah adat yang terbuat
dari jerami dan berbentuk setengah lingkaran, tari-tarian, dan pesta bakar
batu. Dari beberapa adat tersebut hal yang paling unik adalah pesta bakar batu.
Bakar Batu, Teknik Memasak yang Unik dan Sehat
Disebut sebagai pesta
bakar batu karena memang dilakukan pembakaran batu pada upacara tradisional
tersebut. Nah, penasaran dengan pesta ini? Pesta bakar batu merupakan pesta
yang diselenggarakan untuk menyambut tamu agung, tanda perdamaian dengan suku
lain, kematian, syukuran, dan atau perayaan pernikahan.
Bakar batu
merupakan tata cara mengolah bahan makanan yang akan digunakan untuk jamuan.
Cara pengolahan inilah yang selalu menjadi daya tarik tersendiri. Pertama-tama
penduduk mengumpulkan bahan yang terdiri atas kayu, batu, jerami, dan daun
pisang. Disamping itu, bahan makanan lengkap dengan bumbunya juga sudah disiapkan.
Selanjutnya batu-batu
yang telah dikumpulkan ditimbun dengan kayu bakar, kemudian dibakar dengan
menggunakan rotan yang digesekkan pada bambu. Teknik menyalakan api ini juga
masih tradisional. Pembakaran dilakukan hingga semua kayu habis tak tersisa
agar batu benar-benar panas.
Sementara itu
kepala suku menyiapkan babi yang akan dijadikan menu utama pesta dengan cara
yang unik pula. Dua orang laki-laki memegangi babi dan kepala suku memanah
tepat di jantungnya. Bila sekali panah langsung kena jantung, maka mereka percaya
pesta akan berjalan lancar. Namun, bila harus diulangi lagi berarti pertanda
buruk akan terjadi. Begitulah kepercayaan masyarakat yang belum mengenal agama
ini.
Setelah kayu bakar
habis terlalap api, kemudian dibuat lubang yang diatasnya ditimbuni dengan
jerami dan daun pisang. Diatas daun pisang ditata batu panas yang telah dibakar
dengan menggunakan apando, semacam alat penjepit dari kayu. Diatasnya
lagi ditumpuk daun pisang dan makanan. Begitu seterusnya hingga terbentuk
undukan jerami membungkus batu panas tersebut.
Suku yang tubuhnya
kerap digambar dengan warna putih ini harus menunggu 60 hingga 90 menit untuk
menikmati makanan yang mereka oven dalam jerami. Bila sudah matang,
satu-persatu batu dan jerami dibongkar dan ditata rapi. Makanan di dalamnya
kemudian diletakkan di daun pisang. Maklum, disana belum ada piring untuk
makan. Setelah itu makanan dibagi dan disantap bersama.
Keunggulan Teknik Bakar Batu
Teknik memasak
suku pedalaman Lembah Baliem ini mirip dengan cara kerja oven masa kini. Memang
nampaknya lebih sulit dan memakan waktu lama, namun hasil masakan pun ternyata
berbeda. Teknik memasak dengan bakar batu atau yang juga dikenal dengan istilah
mogo gapii dan barapen ini menghasilkan makanan yang lebih sedap,
tingkat kematangan bagus dan bernilai gizi tinggi.
Beberapa ahli
menerangkan bahwa dalam teknik ini panas yang dihasilkan cenderung stabil
sehingga makanan matang dengan rata. Selain itu, memasak ubi jalar dan sayuran
tanpa air juga menyebabkan vitamin yang terkandung tetap utuh. Itulah
keunggulan teknik barapen dibandingkan oven yang terkadang menghasilkan
panas yang tidak rata dan tidak stabil.
Meskipun
tekniknya rumit dan memakan waktu, namun penduduk setempat sangat menyukai
pesta barapen. Padahal mereka harus mengeluarkan uang lebih dan
meninggalkan ladang berhari-hari untuk menyiapkan pesta bakar batu ini. Namun mereka
rela demi bisa berkumpul menikmati makanan favorit.
Menarik Minat Wisatawan
Pesta Bakar
Batu di Lembah Bariem yang sangat tradisional ini justru menarik minat para
wisatawan untuk menyaksikannya. Mereka menilai kebudayaan tersebut sebagai
salah satu entertainment berbeda dan jarang terjadi. Jika keindahan
pantai, danau, dan pegunungan mudah ditemui di tempat lain, eksotisme suku
pedalaman hanya ada di Papua.
Adat primitif suku
Dani dan kawan-kawan di pedalaman Lembah Baliem tidak hanya menarik wisatawan
lokal namun juga mancanegara. Berdasarkan catatan kunjungan, didapatkan data wisatawan
dari Amerika, Australia, dan negara-negara Eropa banyak yang datang ke Papua
untuk menikmati eksotisme budaya pedalaman Papua.
Kebudayaan unik
Papua ini belakangan memang dijadikan sebagai objek wisata komersial yang
mendatangkan devisa negara. Bila di daerah lain seperti Lombok dan Bali orang
menikmati pemandangan alam, di Papua mereka disuguh pemandangan budaya primitif
yang menghibur. Selain mendatangkan devisa, etnik Papua juga menggambarkan
kekayaan budaya nusantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar