Rekayasa genetika telah diterapkan
pada berbagai produk pangan baik dari hewani maupun nabati. Tujuan awal
penggunaan rekayasa genetika pada sistem pangan adalah untuk menghasilkan
pangan dengan varietas unggul. Beberapa tanaman seperti beras pandan wangi yang
semula hanya dapat dipanen 8 bulan sekali bisa panen 4 bulan sekalisetelah
direkayasa. Begitu pula dengan tanaman lain seperti kentang yang dilakukan
rekayasa genetika dapat menghasilkan tanaman dengan ukuran lebih besar.
Adanya penerapan rekayasa genetika
pada tanaman maupun hewan tentu mengundang reaksi berbagai kalangan. Ada yang
pro dan kontra. Mereka yang pro mengatakan bahwa rekayasa genetika digunakan
untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia dan belum ada bukti gangguan
kesehatan secara spesifik yang diakibatkan oleh rekayasa genetika.
Bagi yang tidak setuju mengklaim
bahwa pangan hasil rekayasa genetika tentu akan menimbulkan dampak negatif bagi
kesehatan manusia. Sebut saja domba dolly yang merupakan hasil cloning pertama
itu menyebabkan sejumlah konsumennya menderita nyeri sendi akut. Dari situ
sudah terlihat bahwa rekayasa genetika tidak tepat untuk diterapkan pada hasil
pangan karena ada protein berbeda yang mungkin akan dilawan oleh sistem
imunitas manusia.
Adapun Majelis Ulama Indonesia sendiri
tidak mengklaim haram pada semua hasil rekayasa genetika. MUI mengizinkan
adanya pangan yang direkayasa asalkan bermanfaat bagi umat dan tidak
menyebabkan bahaya. Bila ternyata hasil rekayasa tersebut menyebabkan dampak negatif
berarti tidak diperbolehkan merujuk pada hukum asal makanan harus halal dan
baik.
Mengenai dampak negatif pada
kesehatan tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Pada kenyataannya memang muncul
masalah pada konsumen domba dolly, namun tidak ada masalah dengan konsumen
makanan lain seperti beras pandan wangi dan produk kentang. Untuk itu, satu
kejadian tentu tidak dapat menghasilkan kesimpulan bahwa semua berbahaya.
Meskipun pada dasarnya segala yang alami tentu lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar