Kamis, 13 Desember 2012

ANGAN


Rasa sakit yang mendera
Membuahkan mimpi bagai angan
Menembus  sekat asa
Merobohkan kekerdilan
Tapi kehampaan nyata adanya
Meninggalkan sejuta tanya
Akankah mimpi bukan lagi angan?

Seribu langkah telah kulalui. Seribu rencana terbentang dan seribu hinaan kubuang jauh. Tapi aku masih saja resah. Entahlah, semua terasa semakin runyam. Risau! Itulah kata yang tepat untukku saat ini. Seperti orang bodoh yang hanya bisa kesana kemari menangkap udara. Berkutat dengan bantal dan guling diatas ranjang. Memikirkan cara menyelesaikan masalah. Tetap saja, tak ada jalan yang kutemui. Lebih baik keluar dan mengobrol dengan siapa saja.

“Aku bingung”, tersenyum canggung, kemudian duduk disampingmu penuh kekhawatiran.
“Kenapa?”, jawabmu tenang

Mataku menatap nanar, menceritakan segala kebimbangan hati. Tidak, aku tidak bimbang untuk memilih. Tapi aku tidak tahu jalan mana yang akan kutempuh. Aku punya mimpi. Dan mimpi itu nyata dalam anganku. Hanya, aku bingung bagaimana memulainya.

“Yang penting belajar, agar bisa masuk”, katamu memberiku semangat, seolah tak ada masalah lain.
“Tapi, kalau tidak tahu mau kemana, buat apa belajar?”

            Kau diam, meneruskan pekerjaanmu. Aku diam, dengan masalah yang menari di kepala. Menunggu jawabanmu. Sebentar kemudian kau duduk, bersandar pada tembok putih rumah kita, menghentikan pekerjaaanmu. Menghela nafas, lalu tersenyum getir. Sungguh, senyum yang sangat menyesakkan. Tanpa bicara, aku  tahu maksud hatimu sebenarnya.

“Kau inginnya kemana?”, mencoba memahami maksudku. “Katanya mau ke UNS?” tanyamu seraya memandangku dan  tersenyum kembali.
“Iya, tapi harus mencari alternatif kalau tidak diterima kan?”, jawabku datar dengan suara lirih dan wajah tertunduk.
            Entah kekuatan dari mana, tiba-tiba aku mengatakannya, “Mungkin juga akan mendaftar di unair ambil jurusan kesehatan masyarakat.”
            “Seperti bulik Ayu? Nanti tidak sulit cari kerja?”, kali ini kau memberi pendapat. Mau mencegah, tapi dibatasi rasa sungkan. Karena bulikku tidak bekerja setelah lulus dari jurusan itu, bagimu itu tak baik untukku.
            “Hanya untuk batu loncatan, agar aku bisa meneruskan keluar negeri”
“Juga mau keluar negeri?”, kau tersentak kaget. Tapi ada guratan senyum dibibirmu, entah mentertawakanku atau salut dengan impianku.
            “Hahaha….desa ini pasti ramai, kedua anakku kuliah di luar negeri”, tawamu terkekeh bagaikan sindiran kenaifan dalam diriku. Aku tak bisa menjawab. Hanya tertunduk dan semakin galau.
 “Sekarang, ingin DV atau S1?”, kau bertanya lagi.
“Semua akan aku coba”, jawabku sekenanya.
“Ibu  mendukungmu. Tentu ibu bangga. Tapi biayanya bagaimana?”, Ungkap perempuan berkulit putih yang terlihat pasrah. Aku tahu kau pasti mendukungku. Tentu bukan itu yang kuharapkan dari dirimu. Pertanyaanmu terakhir, itulah solusi yang ingin kudapatkan.

Sejenak, tersenyum getir beliau memandangku tanpa bicara, seolah menyesali ketidakerdayaannya untuk membiayaiku. Masih disana, ditempatnya duduk. Aku beranjak. Mencari kesejukan dari aliran air dingin yang kini membasahi kerongkonganku.

Rupanya masih belum ada solusi. Aku teringat siapa diriku. Anak seorang penjual kerupuk, dengan hutang menumpuk berani melukis mimpi untuk kuliah lagi, kemudian mengambil program magister di luar negeri. Bimbang, mimpi ataukah angan yang kumiliki. Sebulan lagi waktunya pendaftaran. Tapi sepersenpun tak ada uang di tanganku. Berkutat di depan laptop yang kubeli saat kuliah DIII, mencari beasiswa yang mungkin kudapat. Tapi sulit untuk program alih jenjang sepertiku.

Tanganku gemetar, airmata tak bisa kubendung, sedang dadaku naik-turun menahan beratnya beban. Tenggelam dalam ketakutan yang mencengkeram. Bagaimana jika aku tidak bisa mendapatkan beasiswa? Bagaimana jika aku tidak bisa kuliah lagi? Bagaimana masa depanku? Akankah aku menjadi pengangguran? Beribu pertanyaan mendera menyesakkan dada. Entah berapa lama tangisku tumpah bersama kekhawatiran yang menjelma menjadi monster seolah siap merenggut masa depanku dalam kunyahannya.

Akankah kau tetap terpaku dalam problema hidupmu
Hanya menambah kelu
ingatkah kau bersimpuh dihadapan Tuhanmu
memohon petunjuk, jalan kebenaran
Senantiasa ingatlah
pada Allah yang kuasa
mohon lindunganNya
berusaha karenaNya, bertawakal padaNya
niscaya kan kau capai kemenangan dariNya

Alunan nada dari winampku terdengar begitu indah. Syairnya mampu merasuk kalbu, menghentikan derai airmataku seketika. Seolah memberi jawaban atas kegalauan dan ketakutan. Lagu itu, yang entah kapan aku memutarnya, mengingatkanku padaNya. Perlahan kesadaran membayang dalam benak, sedang jari-jari lentikku menghapus lelehan airmata yang mulai menyurut.

 Aku tidak hidup sendiri, aku punya Dia yang selama ini memberiku segalanya. Bukankah Dia selalu memberi apapun yang aku butuhkan? Bukankah Dia menyembuhkan hantaman duka dan lara dengan menggulirkan waktu yang menghapus jejak-jejak ingatan? Betapa bodohnya jika aku menangis seperti ini, bukan bersimpuh dihadapanNya. Aku tahu Dia punya segalanya. Dan aku akan menangis untuk meminta kepadaNya.

Gemericik air membasuh mukaku sekaligus kegundahan yang barusan mengguncang hati ini. Kesegarannya menawarkan panasnya airmata. Menapaki tangga kayu menuju sajadah panjangku. Mengambil kain putih penutup tubuh lesu tak berdaya. Bersimpuh dengan derai airmata. Kali ini bukan lagi airmata ketakutan, tapi airmata penghapus risau dariNya.

Dalam duka ada hati yang nestapa
Dalam lara ada mimpi yang membara
Sesaat jalan menggelap
Membuat gundah kaki-kaki yang tertatih
Namun cahaya tetaplah cahaya
            Takkan henti menyinari
            Dikala hati meredup bagaikan senja
            Akan ada nyanyian syurga
            Meniupkan nafas kehidupan kedalamnya.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar