Kamis, 13 Desember 2012

Parit Airmata


                Malam semakin pekat, dua kaki beradu dengan waktu menyusuri kegelapan tanpa batas. Hatinya kelu, beku tanpa rasa. Tekadnya bulat, menyelesaikan hajat sebelum matahari terbit.
***
“Surti!” Suara yang setiap pagi terdengar bagai lolongan anjing kelaparan. Surti hafal betul tabiat suaminya itu.

“Surti!”
Mau tak mau ia keluar juga. Bau alcohol menyeruak ketika Surti membuka pintu kamar.
“Bruk!”, suaminya jatuh diatas sofa ruang tamu.
“Apa tidak ada yang bisa kau kerjakan selain mabuk?”
“Jangan banyak bacot! Ambilkan aku makanan, aku lapar.”, katanya dengan suara naik-turun, kemudian memejamkan mata lagi.
“Tidak ada makanan!”, jawab Surti tegas.
“Prakk!”,lelaki itu melempar sepatunya ke meja kaca. Begitu kebiasaannya jika yang dia inginkan tidak dituruti.
“Lakukan saja apa yang kau mau! Bakar sekalian rumahmu ini!”

Surti segera pegi ke warung, membiarkan suaminya dalam keadaan mabuk tanpa makanan. Parto tak berdaya mengejarnya. Surti sudah jengah dengan perilaku suaminya itu. Beruntung, dia masih punya warung sebagai tempat pelarian kalau suaminya sedang marah.
***
Perkebunan sawit bagaikan lorong gelap yang tak ada ujungnya. Lolongan anjing dan jeritan burung hantu menegakkan bulu kuduk siapapun yang mendengarnya. Surti berlari sejauh mungkin dari pemukiman warga. Disingkirkannya rasa takut hatinya, mencoba tidak percaya akan cerita menyeramkan.
***
Hari ini warung lumayan ramai. Surti mendapat uang Rp 100.000,00 dari berjualan nasi dan rujak petis. Malam semakin larut, dingin semakin merasuk. Surti masih mencuci piring, gelas, dan peralatan lainnya. Tiba-tiba ia teringat pada putra semata wayangnya. Sudah tiga hari demamnya tidak turun. Ia ingin membawa putranya ke dokter dengan uang perolehan hari ini.

Setelah pekerjaannya selesai, Surti segera pulang. Pukul 22.00 tepat dia sampai di pekarangan rumahnya yang sangat luas. Di belakang rumah ada lima hektar perkebunan sawit. Dahulu perkebunan itu dan beberapa hektar lainnya adalah milik suaminya, tapi sekarang telah habis untuk berjudi dan mabuk-mabukan. Kini tinggal rumah yang tersisa.

Parto, suami Surti sudah berdandan necis di ruang tamu. Rupanya ia menunggu istrinya sedari tadi.
“Jam segini baru pulang? Kemana saja kau?”, gertak suaminya sambil berkacak pinggang. Surti melengos tak menghiraukan suaminya.
“Mau kemana kau?”
 Surti menghentikan langkahnya. “Kau sendiri mau kemana?”
“Apa urusanmu tanya-tanya? Laki-laki tak perlu minta ijin istri kalau mau keluar.”
“Juga tak perlu minta uang”, timpal Surti geram.
“Bangsat! Berani kau padaku?”, Laki-laki itu menjambak rambut Surti. Kontan Surti mengerang kesakitan.
“Berikan uangmu padaku! cepat!”
“Aku tidak ada uang!”
“Persetan!! Berani kau bohongi aku?”, kali ini leher Surti jadi sasaran tangannya. Surti sulit bernapas.
“Hari ini warungmu ramai, tapi kau bilang tak ada uang? Mau cari mati?”, bentaknya sambil menekik leher Surti dan mengeluarkan belati.
“Serahkan uangmu atau nyawa anakmu? Hah?”, ancam Parto sembari menuju kamar anaknya.
“Tunggu! Akan kuambilkan”, akhirnya Surti menyerah.
“Hahahaha”, tertawa penuh kemenangan.
“Bedebah kau!”, Suaminya merampas uang ditangannya, kemudian mendorongnya kearah pintu.
“Jangan macam-macam denganku!” Kemudian dia pergi entah kemana.
***
Setelah berjalan cukup jauh, Surti berhenti dan duduk di atas batu di tengah semak belukar. Nafasnya terengah-engah, peluhnya membanjiri tubuh sintalnya yang kini bergulat dengan pekat. Didekapnya tubuh putranya yang merana itu. Diciuminya dengan lelehan airmata.
***

Ada sesuatu yang hangat menetes di kening Surti. Batinnya semakin teriris saat menyadari darah segar mengalir di keningnya. Malang sekali nasibnya, nasib gadis cantik nan cerdas yang dahulu dielu-elukan warga desanya.

Lima tahun lalu, gadis itu berkekasih seorang guru honorer di sebuah madrasah ibtidayah. Tapi orang tua Surti tidak menyetujui hubungan mereka. Ibunya menjodohkan Surti dengan Parto, laki-laki bengis anak pemilik perkebunan sawit yang kaya raya. Alasan kedua orangtuanya sama dengan kebanyakan orang, yaitu materi. Menurut mereka limpahan harta menjamin kebahagiaan putrinya. Surti sendiri tak pernah menyetujui pernikahan itu dengan alasan tabiat Parto yang suka mabuk-mabukan, berjudi, dan main perempuan. Tapi orangtuanya memaksa dengan dalih semua tabiat buruk bisa berubah setelah merasakan tanggung jawab keluarga.
            ***
Setelah istirahat beberapa saat, nafasnya mulai teratur. Surti merasa tempat ini sudah cukup jauh dari pemukiman penduduk. “Yah, ini tempat yang tepat”, bisiknya dalam hati. Segera ia mulai ritual yang tak pernah ia lupakan sepanjang sejarah hidupnya. Ritual yang akan membuat parit airmata setiap kali mengenangnya.
***
Tangisan putranya membuyarkan lamunan Surti. Rasa iba pada putranya menyeruak mengganti kesedihan dirinya. Putranya yang baru berumur tiga tahun harus menghadapi kerasnya kehidupan. Setiap hari menahan pukulan dan tamparan ayahnya, tanpa punya kekuatan untuk mengelak. Airmata tak bisa dibendung lagi ketika tangannya menyusuri tubuh putranya yang biru lebam merintih kesakitan. Badannya sangat panas. Surti hendak mengambil air untuk mengompres. Tiba-tiba putranya menangis keras. Ia segera menoleh dan menghampiri bocah itu. Tubuhnya kejang. Surti tak tahu apa yang harus dilakukan.

Surti menangis. Hanya menangis saja. Tubuhnya limbung. Malaikat maut seolah membisikkan kematian ditelinganya. Bocah laki-laki itu megap-megap, matanya membalik keatas. Surti termangu dalam haru. Anak yang Sembilan bulan dikandungnya dengan kebencian pada Parto. Anak yang tumbuh tanpa kasih saying ayahnya. Anak yang kini disayang dan dikasihani. Anak yang menjadi pelipur laranya. Kini menderita tanpa dosa. Tanpa bisa ia tolong.
***

Ia terus beradu dengan debu. Mencakar bumi dengan lelehan airmata seorang ibu. Entah apa yang dirasakannya. Berkali-kali ia berbisik “Ini lebih baik daripada setiap hari menanggung siksa”.  Terkadang ia merasa lega, terkadang iba.

Kembali Surti menghampiri putranya yang semakin membiru. Ia tak pernah tahu tanda kematian. Yang ia tahu kini putranya tak lagi bergerak dan bernafas.

Selesai melakukan ritual terakhir untuk putranya, ia kembali berlari. Berlari dan berlari. Tak tahu kemana kaki akan melabuhkan deritanya.
***
Surti membuka matanya perlahan ketika suara kedamaian menghiasi telinganya. Suara yang dulu kerap didengarnya.
“Laa ilaha illallah…la ilaha illallah…la ilaha illallah”

Matanya melucuti sekitar. Ia kini tak lagi di hutan, melainkan di sebuah gubuk kedamaian, dikelilingi orang-orang yang sedang berdzikir. Ia bangun, kemudian menyapa manusia-manusia disekelilingnya. Diam, tanpa jawaban. “Mereka sedang berdoa, aku tak boleh mengganggu”, pikirnya. Kini hatinya begitu tentram, sebelum menyadari jazadnya yang terbujur kaku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar