Rabu, 25 September 2013

Oven Batu, Primitif Culture Lembah Baliem



Eksotisme Papua selalu terpancar bukan hanya dari alamnya yang liar, namun juga dari kebudayaan unik primitif yang bertolak belakang dengan budaya modern. Bila budaya modern menawarkan keindahan seni melalui persaingan fashion dan teknik memasak praktis, adat suku pedalaman Papua justru percaya diri dengan baju minimalis mereka dan teknik-teknik tradisional, pun dalam hal memasak.
            Lembah Baliem merupakan lembah pegunungan Jayawijaya yang berada di Papua. Ibukota daerah yang juga disebut sebagai Grand Baliem Valley ini adalah Wamena, salah satu kota terkenal di Papua karena mudah dijangkau dengan transportasi udara. Yah, transportasi udara memang masih menjadi andalan di Papua mengingat dataran yang terjal dan kurang bersahabat.
 Lembah tersebut dihuni beberapa suku pedalaman Papua seperti suku Dani yang merupakan suku terbesar, suku Yali, dan suku Lani.  Pemandangan alam Lembah yang berhawa dingin ini sungguh eksotik. Hal ini disebabkan tanah di Lembah Baliem  tergolong subur sehingga memiliki berbagai tumbuhan yang menarik untuk dipandang mata.
            Sejalan dengan tanah subur di Lembah Baliem, maka mata pencaharian utama suku-suku di tempat ini adalah bercocok tanam. Ubi jalar merupakan tanaman utama penduduk setempat dan dijadikan sebagai makanan pokok. Disamping itu, mereka juga menanam sayuran seperti wortel, pepaya, singkong, labu, dan jagung.
             
Primitive Culture di Lembah Baliem
Suku-suku di Lembah Baliem ini bisa dibilang masih sangat primitif. Hal ini disebabkan karena mereka benar-benar memegang teguh adat istiadat hingga saat ini. Ciri khas yang paling mencolok dari budaya primitif tersebut adalah cara berpakaian mereka yang masih mengenakan koteka. Koteka berasal dari daun labu air yang dikeringkan dan disematkan pada alat kelamin laki-laki. Sedangkan para perempuan disana hanya mengenakan rok dari jerami. Mungkin, penggiat fashion perlu mengerahkan seluruh energi untuk mengubah pendirian suku pedalam tersebut agar mau berpakaian lebih baik.
Selain koteka, penduduk Lembah Baliem juga memiliki beberapa adat yang menjadi kearifan lokal. Sebut saja Festival Lembah Baliem yang sangat terkenal, rumah adat yang terbuat dari jerami dan berbentuk setengah lingkaran, tari-tarian, dan pesta bakar batu. Dari beberapa adat tersebut hal yang paling unik adalah pesta bakar batu.

Bakar Batu, Teknik Memasak yang Unik dan Sehat
            Disebut sebagai pesta bakar batu karena memang dilakukan pembakaran batu pada upacara tradisional tersebut. Nah, penasaran dengan pesta ini? Pesta bakar batu merupakan pesta yang diselenggarakan untuk menyambut tamu agung, tanda perdamaian dengan suku lain, kematian, syukuran, dan atau perayaan pernikahan.
            Bakar batu merupakan tata cara mengolah bahan makanan yang akan digunakan untuk jamuan. Cara pengolahan inilah yang selalu menjadi daya tarik tersendiri. Pertama-tama penduduk mengumpulkan bahan yang terdiri atas kayu, batu, jerami, dan daun pisang. Disamping itu, bahan makanan lengkap dengan bumbunya juga sudah disiapkan.
            Selanjutnya batu-batu yang telah dikumpulkan ditimbun dengan kayu bakar, kemudian dibakar dengan menggunakan rotan yang digesekkan pada bambu. Teknik menyalakan api ini juga masih tradisional. Pembakaran dilakukan hingga semua kayu habis tak tersisa agar batu benar-benar panas.
            Sementara itu kepala suku menyiapkan babi yang akan dijadikan menu utama pesta dengan cara yang unik pula. Dua orang laki-laki memegangi babi dan kepala suku memanah tepat di jantungnya. Bila sekali panah langsung kena jantung, maka mereka percaya pesta akan berjalan lancar. Namun, bila harus diulangi lagi berarti pertanda buruk akan terjadi. Begitulah kepercayaan masyarakat yang belum mengenal agama ini.
            Setelah kayu bakar habis terlalap api, kemudian dibuat lubang yang diatasnya ditimbuni dengan jerami dan daun pisang. Diatas daun pisang ditata batu panas yang telah dibakar dengan menggunakan apando, semacam alat penjepit dari kayu. Diatasnya lagi ditumpuk daun pisang dan makanan. Begitu seterusnya hingga terbentuk undukan jerami membungkus batu panas tersebut.
            Suku yang tubuhnya kerap digambar dengan warna putih ini harus menunggu 60 hingga 90 menit untuk menikmati makanan yang mereka oven dalam jerami. Bila sudah matang, satu-persatu batu dan jerami dibongkar dan ditata rapi. Makanan di dalamnya kemudian diletakkan di daun pisang. Maklum, disana belum ada piring untuk makan. Setelah itu makanan dibagi dan disantap bersama.

Keunggulan Teknik Bakar Batu
            Teknik memasak suku pedalaman Lembah Baliem ini mirip dengan cara kerja oven masa kini. Memang nampaknya lebih sulit dan memakan waktu lama, namun hasil masakan pun ternyata berbeda. Teknik memasak dengan bakar batu atau yang juga dikenal dengan istilah mogo gapii dan barapen ini menghasilkan makanan yang lebih sedap, tingkat kematangan bagus dan bernilai gizi tinggi.
Beberapa ahli menerangkan bahwa dalam teknik ini panas yang dihasilkan cenderung stabil sehingga makanan matang dengan rata. Selain itu, memasak ubi jalar dan sayuran tanpa air juga menyebabkan vitamin yang terkandung tetap utuh. Itulah keunggulan teknik barapen dibandingkan oven yang terkadang menghasilkan panas yang tidak rata dan tidak stabil.
Meskipun tekniknya rumit dan memakan waktu, namun penduduk setempat sangat menyukai pesta barapen. Padahal mereka harus mengeluarkan uang lebih dan meninggalkan ladang berhari-hari untuk menyiapkan pesta bakar batu ini. Namun mereka rela demi bisa berkumpul menikmati makanan favorit.

Menarik Minat Wisatawan
Pesta Bakar Batu di Lembah Bariem yang sangat tradisional ini justru menarik minat para wisatawan untuk menyaksikannya. Mereka menilai kebudayaan tersebut sebagai salah satu entertainment berbeda dan jarang terjadi. Jika keindahan pantai, danau, dan pegunungan mudah ditemui di tempat lain, eksotisme suku pedalaman hanya ada di Papua.
Adat primitif suku Dani dan kawan-kawan di pedalaman Lembah Baliem tidak hanya menarik wisatawan lokal namun juga mancanegara. Berdasarkan catatan kunjungan, didapatkan data wisatawan dari Amerika, Australia, dan negara-negara Eropa banyak yang datang ke Papua untuk menikmati eksotisme budaya pedalaman Papua.

Kebudayaan unik Papua ini belakangan memang dijadikan sebagai objek wisata komersial yang mendatangkan devisa negara. Bila di daerah lain seperti Lombok dan Bali orang menikmati pemandangan alam, di Papua mereka disuguh pemandangan budaya primitif yang menghibur. Selain mendatangkan devisa, etnik Papua juga menggambarkan kekayaan budaya nusantara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar