Petir menyambar bumi Alor seolah
ingin merenggut kedamaian yang tercipta disana berabad lamanya. Hujan deraspun
mengiringi. Di salah satu kolwat1, seorang wanita sedang berjuang
keras melahirkan buah hatinya. Mama2 Sangahi, dukun beranak suku
Alor yang meninjak usia 50 tahun itu tak henti meniupkan semangat di telinga
sang wanita.
“Terus
ma, sedikit lagi, lebih kuat!”, ucap mama Sangahi.
Entah berapa kali wanita itu
mengejan. Mungkin sudah puluhan atau bahkan ratusan. Tapi jabang bayi tak
keluar juga dari perutnya. Terkadang ia mengerang keras sekali sembari
mengejan, seolah tak mau kalah dengan suara halilintar.
Sementara itu Kepala Suku tergopoh-gopoh
melawan hujan badai untuk sampai ke rumah kelahiran. Bajunya basah kuyup ketika
sampai di pelataran. Tak dihiraukannya rasa dingin yang menusuk tulang. Sambil
menata nafas, ia bertanya pada Karim, ayah sang jabang bayi.
“Sudah
lahir?”
“Belum.
Sulit”, jawab ayah tak mampu menatap mata Kepala Suku.
“Sudah
buat pemujaan?”, tanyanya serius.
“Sudah.
Kakeknya masih di misbah3 sampai sekarang”.
Mereka terdiam mendengarkan erangan
wanita di dalam kolwat yang sedang berjuang antara hidup dan mati. Terlihat
jelas gurat cemas dari wajah keduanya. Terlebih untuk Kepala Suku yang bahkan
sudah menyiapkan moko4 bila bayinya lahir perempuan. Ia tak ingin
gagal lagi menikahkan putranya kali ini.
###
Eek...eek..eek..
Tangis bayi pecah dari dalam kolwat.
Segera senyum bahagia tersungging di bibir Kepala Suku dan keluarga si jabang
bayi. Mereka beradu cepat menghampiri mama Sanghari untuk menanyakan jenis
kelaminnya.
Hati kepala Suku bersorak ketika
melihat alat kelamin wanita pada bayi yang digendong mama Sangahi. Ia menoleh
pada Karim dan tersenyum, “Segera buat pinangan dan gallar5”. Mendengar
itu, wajah karim berubah pucat pasi. Ia tak tahu harus berkata apa. Untuk
menolak lamaran seorang Kepala Suku adalah hal yang mustahil, tapi jika
diterima, ia khawatir akan nasib bayinya kelak.
“Kalau
begitu saya pulang dulu. Keluarga pasti senang dengan kabar ini”, ucap Kepala
Suku tanpa memandang wajah Karim yang pucat. Sejurus kemudian ia sudah melesat
ditelan pekatnya malam. Purnama tak tampak malam itu.
###
Mesang
(pelataran) di depan rumah Karim ramai. Keluarga berkumpul di pelataran untuk
mengadakan upacara kelahiran. Beberapa penari lego-lego6 wanita
telah menggerai rambutnya. Dukun pun telah bersiap membakar kemenyan di depan misbah.
Tiba-tiba Kepala Suku muncul bersama beberapa orang keluarganya.
“Saya
ikut upacara ini”, katanya.
Tidak
biasanya kepala suku menghadiri langsung upacara kelahiran seperti ini. Tapi
keluarga Karim tak mungkin menolak.
“Segera
dimulai saja upacaranya”, suruh Kepala Suku pada sang dukun.
Dukunpun komat-kamit membaca mantera
untuk meminta keselamatan sang bayi. Sesekali, ia menaburkan gula di atas
kemenyan agar tetap berasap. Decakan cecak sontak membuat semua orang menoleh.
Bunyi cecak merupakan pertanda bagi suku Alor.
“Arwah
leluhur telah datang bersama kita. Mereka pasti memberikan berkatnya pada
bayimu, Karim”, ucap sang dukun. Karim tersenyum. Andai saja kepala suku tak
hadir, pasti ia menjadi manusia paling bahagia saat ini.
Upacara dilanjutkan dengan tarian
lego-lego. Ada sekitar 25 orang yang ikut menari bergandengan. Suara moko yang
ditabuh beradu dengan gemerincing gelang kaki penari. Sesekali penari
melontarkan pantun, kemudian menyanyi bersama dengan bahasa adat Alor. Mereka
menari semalam suntuk.
###
Belum sempat Karim beristirahat, Kepala
Suku sudah datang bersama keluarganya pagi-pagi sekali. Sebagai penduduk biasa,
ia tak kuasa menolak tamu agungnya itu. dengan berat hati Karim mempersilahkan
mereka masuk ke kolwat. Jantungnya mulai berdenyut lebih kencang.
“Keluarga
kami datang kesini untuk memberi kabar gembira”, ucap Kepala Suku tanpa
basa-basi. Dahi Karim mengernyit. Dia heran, bukankah seharusnya ada seseorang
yang didaulat untuk menjadi pembicara dalam pertemuan keluarga? Mengapa Kepala
Suku langsung bicara sendiri?
“Hari
ini kami akan meminang putrimu”, ujar Kepala Suku tersenyum. Ia memang terlihat
tergesa sekali dengan pertunangan itu. Seolah tak ingin bayi perempuan itu
menjadi milik taruna7 lain.
Karim hanya mengangguk-angguk pelan.
Entah apa maksudnya; apakah itu artinya ia menerima pinangan atau hanya tanda
bahwa ia telah mengerti maksud Kepala Suku.
“Derajat
keluargamu akan meningkat bila menjadi keluarga Kepala Suku”, bujuknya.
Benar saja kalau Karim akan
mendapatkan derajat tinggi ketika menjadi besan Kepala Suku. Bahkan putrinya akan
menjadi ratu di suku Alo, bila nanti suaminya menggantikan ayahnya sebagai
kepala suku. Tentu pinangan ini adalah berkah, andai saja kutukan itu tidak
pernah terjadi.
“Kira-kira
kapan kita akan mengadakan gallar?”, lamunan Karim buyar ketika mendengar
pertanyaan kepala suku itu. mimik wajahnya berubah, dahinya mengernyit.
“Saya
harus bicara dulu dengan keluarga”, jawab Karim mengelak. Ia berusaha mencari
waktu untuk menemukan alibi penolakan.
“Semua
keluarga ada disini. Tanyakan saja sekarang”, kepala Suku rupanya sudah tidak
sabar untuk mengawinkan anaknya.
Karim berbalik menghadap keluarga
yang sedari tadi duduk di belakangnya. Mereka mulai berbisik. Kepala Suku gusar,
ia khawatir bila keluarga Karim menolak pinangannya. “Kalau sampai menolak,
akan kubuat anak gadismu dibakar hidup-hidup”, sumpahnya dalam hati.
“Kami
minta moko”, ujar Karim terbata-bata.
“Hahahahaha....”,
kepala suku terkekeh, begitu pula keluarganya.
“Tentu
saja. Bahkan kami sudah membawakannya sekarang”. Seorang keluarga kemudian
menyerahkan sebuah moko malei tana8.
“Tidak
bisa”, tolak Karim.
“Apa
maksudmu?”, Kepala suku sontak naik pitam.
“Kami
ingin 100 moko malei tana”.
“Itu
mustahil. Kau tahu berapa harga satu malei tana?”, sergah kepala suku sambil
menunjuk gendang panjang yang usianya ratusan tahun di depannya.
“Harga
putri kami bahkan tak terukur dengan moko. Sudah 3 tahun desa kita tak pernah
mendengar tangisan bayi perempuan”, jawab Karim percaya diri.
Mendengar ucapan Karim itu, Kepala Suku sedikit berpikir. Memang benar,
sudah 3 tahun ini setiap bayi yang lahir selalu berjenis kelamin laki-laki. Terang
saja kalau putri Karim diperebutkan banyak keluarga. Bahkan, ia bisa mendadak
jadi kepala suku hanya karena memiliki seorang anak wanita.
“Baiklah”,
janji kepala suku tanpa pikir panjang. Apapun akan ia lakukan asal bayi itu
menjadi menantunya.
“Dalam
waktu satu minggu. Bila tidak, akan kami tawarkan pada taruna lain” Karim
benar-benar berniat menghalangi pinangan kepala suku itu.
“Lihat
saja nanti. Anakmu akan jadi milikku!”, bentak Kepala Suku dan langsung pergi.
###
Seharian
ini Kepala Suku hanya mondar-mandir gelisah. Ia terus berpikir keras untuk
mengumpulkan 100 moko malei tana dalam waktu satu minggu saja. Andai moko bisa
dibuat, tentu ia sudah kerahkan penduduk untuk membuat seribu moko demi anak
Karim. Sayang, moko malei tana tak mungkin dibuat. Benda itu adalah peninggalan
zaman kerajaan Dongsong yang hidup 350 tahun sebelum masehi.
Untuk mencarinya di hutan rupanya cukup
sulit, apalagi waktunya hanya satu minggu. Belakangan pemerintah gencar
mengumpulkan moko untuk dipajang di museum moko. Siapapun yang menyerahkan moko
ke museum akan diberi imbalan yang tidak sedikit. Banyak orang dari luar Alor
yang kemudian berburu moko demi mendapatkan setumpuk rupiah.
Seandainya ia membeli dari para
sesepuh adat juga tidak mungkin sampai seratus buah. Masing-masing keluarga
butuh moko untuk belis7 anak mereka masing-masing. Kalau membeli dari museum
juga akan sulit karena harganya bisa sampai ratusan juta. Darimana ia akan
mendapatkan uang sebanyak itu. meskipun seorang kepala suku, ia tidak lebih
dari seorang petani.
Di tempat lain, Karim dirundung rasa
khawatir. Ia takut bila kepala suku berhasil mengumpulkan 100 moko. Sebenarnya,
ia merasa bersalah karena telah mempermainkan kepala suku. Tapi, kutukan itu
terus menghantui pikirannya. Karim kemudian memutuskan untuk berdoa di depan
misbah.
Ingatan Karim kembali pada peristiwa
Alor beberapa tahun yang lalu. Ketika seorag dukun menyumpahi kandungan istri
kepala suku. Dukun itu terlanjur sakit hati atas perbuatan kepala suku. Entah
pertimbangan apa yang membuatnya tega berbuat demikian.
Penduduk setempat menganggap
penyakit ayan yang diderita sang dukun adalah sebuah kutukan yang bisa menular.
Mereka tidak mau terkena kutukan yang sama dari para leluhur bila ia tetap
disini. Alih-alih menenangkan warga, kepala suku justru tersulut emosi hingga
mengusir anak tak bersalah itu. sebelum pergi, dukun itu mengutuk jabang bayi
kepala suku yang masih dalam kandungan istrinya. Kelak, anak itu akan
mendapatkan penyakit kutukan yang membuat para gadis tidak mau menikah
dengannya. Bahkan masyarakat akan jijik melihatnya. Benar saja, ketika anak
laki-laki kepala suku lahir, ia terlihat aneh. Wajahnya bulat, matanya sipit,
bibir besar, kaki berbentuk O dan tangisnya mirip kucing. Setelah besar semakin
tampak aneh. Tubuh anak itu pendek, air liurnya menetes terus, tidak bisa
diajak bicara dengan baik, dan suka berperilaku sesuka hati.
###
Batas waktu yang diberikan Karim telah
habis. Tapi kepala suku belum juga memiliki 100 moko malei tana untuk
diserahkan untuk belis. Ia bingung, apa lagi yang harus dilakukan. Semua usaha,
mulai membeli dari keluarga lain, mencarinya di pegunungan, hingga membeli dari
pemerintah sudah dilakukan. Sebenarnya kepala suku menyadari kalau ini hanyalah
penolakan Karim secara halus. Hanya saja ia terlalu gengsi untuk menolak
permintaan Karim tersebut.
Setelah merenung beberapa saat, ia
putuskan untuk menemui Karim di rumahnya. Setidaknya ia akan mencoba merayu
Karim agar menerima moko yang sudah terkumpul dan melunasi sisanya setelah
perkawinan. Cara seperti itu diperbolehkan dalam tradisi Alor.
###
Melihat kepala suku menuju kolwatnya
dengan wajah lesu, hati Karim bersorak gembira. Ia telah menang dari kepala
suku tanpa harus banyak bertindak. Dengan sombong Karim melipat tangan di dada
dan menatap kepala suku dengan pandangan melecehkan.
“Sudahlah,
tidak usah murung. Batalkan saja keinginan kau untuk meminang putriku”, ucap
Karim lantang.
“Tidak
bisa. Kita lakukan gallar, setelah itu akan kubayar sisanya nanti”, minta Kepala
Suku.
“Apa?
Haha...”, Karim tertawa congah, “tidak bisa! Ini sudah melewati batas waktu. Artinya
perkawinan dibatalkan. Kau cari saja wanita lain. Mama Sangahi yang umurnya 40
tahun juga siap untuk dikawin anakmu”, hina Karim. Kepala suku tersenyum kecut
mendengar ejekan Karim. Dalam hatinya berkata, “lihat saja apa yang akan
kuperbuat nanti”.
###
Satu tahun setelah kelahiran putri
Karim, masih belum ada lagi bayi perempuan yang terlahir di tanah Alor.
Penduduk benar-benar dibuat cemas. Mereka berbondong-bondong mendatangi kepala
suku untuk membicarakan ini kepada para leluhur dan Tuhan. Kepala suku
menyetujuinya. Ia kemudian pergi bersemedi di dalam hutan selama satu bulan
penuh untuk mencari jalan keluar dari masalah tersebut.
##
Hari ini kepala suku akan kembali
dari semedinya. Masyarakat yang sudah tidak sabar mendengar kabar dari kepala
suku menunggunya di mulut hutan. Akhirnya sosok yang ditunggu itu muncul juga.
Di depan penduduk Alor, kepala suku memberitahukan bisikan yang dikatakannya
dari para leluhur.
“Saudaraku,
para leluhur kita meminta persembahan seorang bayi perempuan yang lahir ketika
petir dan badai. Bayi itu adalah keturunan iblis dan membawa musibah”, jelas Kepala
Suku lantang, “persembahan harus dilakukan tengah malam nanti ketika purnama menunjukkan
batang hidungnya”.
###
Penduduk
Alor sibuk menyiapkan persembahan di mesang. Mereka menata kayu bakar beberapa
meter di depan misbah. Tempat itu akan digunakan untuk membakar bayi Karim.
Sementara itu, beberapa penari lego-lego telah siap berperang melawan iblis.
Karim
dan istrinya sungguh panik. Anak perempuannya kini telah ada di rumah kepala
suku dan sebentar lagi akan dibakar. Ia tahu bahwa semua ini hanya rekayasa
kepala suku untuk meluapkan dendamnya. Mereka berpikir keras untuk
menyelamatkan nyawa bayi perempuannya.
###
Kebakaran....Kebakaran
Si
jago merah rupanya melalap kolwat Kepala suku yang terbuat dari kayu. Dalam sekejap
kolwat itu telah berubah menjadi abu. Beruntung keluarga kepala suku berhasil
keluar dengan selamat. Penduduk berusaha memadamkan api. Suasana benar-benar
gaduh. Orang-orang keluar rumah untuk menyaksikan peristiwa ganjil itu. Bagi suku
Alor, kejadian tersebut sungguh aneh. Kebakaran tidak pernah sekalipun terjadi
karena mereka selalu bersahabat dengan alam. Apalagi saat ini adalah musim
penghujan. Semua orang berbisik membicarakan keganjilan tersebut. Mereka lupa
dengan acara pembakaran bayi Karim malam ini.
###
Hujan deras terus mengguyur tanah
Alor. Angin kencang seolah ingin menerbangkan apapun yang dijumpainya. Seorang
mama Alor terus berlari kencang menerjang badai. Didekapnya bayi perempuan yang
berselimut tenun Alor berlapis. Mulutnya komat-kamit memanjatkan doa untuk
keselamatan bayinya. Hatinya bersorak setelah menemukan sebuah sebuah gua
dengan nyala api unggun. “Setidaknya kupastikan hidup bayi ini”, gumamnya.
Harapan baru untuk hidup lebih baik terpampang nyata.
1 rumah adat
suku Alr
2.panggilan
untuk wanita yang sudah menikah
3.misbah
4. benda
berbentuk mirip gendang panjang dari eperunggu
5. pesta
perkawinan
6. tarian suku
Alor. Dahulu untuk berperang
7.jejaka
8.jenis moko
yang mahal
9. mas kawin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar