Jumat, 12 September 2014

Moko Malei Tana





            Petir menyambar bumi Alor seolah ingin merenggut kedamaian yang tercipta disana berabad lamanya. Hujan deraspun mengiringi. Di salah satu kolwat1, seorang wanita sedang berjuang keras melahirkan buah hatinya. Mama2 Sangahi, dukun beranak suku Alor yang meninjak usia 50 tahun itu tak henti meniupkan semangat di telinga sang wanita.
“Terus ma, sedikit lagi, lebih kuat!”, ucap mama Sangahi.
            Entah berapa kali wanita itu mengejan. Mungkin sudah puluhan atau bahkan ratusan. Tapi jabang bayi tak keluar juga dari perutnya. Terkadang ia mengerang keras sekali sembari mengejan, seolah tak mau kalah dengan suara halilintar.
            Sementara itu Kepala Suku tergopoh-gopoh melawan hujan badai untuk sampai ke rumah kelahiran. Bajunya basah kuyup ketika sampai di pelataran. Tak dihiraukannya rasa dingin yang menusuk tulang. Sambil menata nafas, ia bertanya pada Karim, ayah sang jabang bayi.
“Sudah lahir?”
“Belum. Sulit”, jawab ayah tak mampu menatap mata Kepala Suku.
“Sudah buat pemujaan?”, tanyanya serius.
“Sudah. Kakeknya masih di misbah3 sampai sekarang”.
            Mereka terdiam mendengarkan erangan wanita di dalam kolwat yang sedang berjuang antara hidup dan mati. Terlihat jelas gurat cemas dari wajah keduanya. Terlebih untuk Kepala Suku yang bahkan sudah menyiapkan moko4 bila bayinya lahir perempuan. Ia tak ingin gagal lagi menikahkan putranya kali ini.
###
Eek...eek..eek..
            Tangis bayi pecah dari dalam kolwat. Segera senyum bahagia tersungging di bibir Kepala Suku dan keluarga si jabang bayi. Mereka beradu cepat menghampiri mama Sanghari untuk menanyakan jenis kelaminnya.
            Hati kepala Suku bersorak ketika melihat alat kelamin wanita pada bayi yang digendong mama Sangahi. Ia menoleh pada Karim dan tersenyum, “Segera buat pinangan dan gallar5”. Mendengar itu, wajah karim berubah pucat pasi. Ia tak tahu harus berkata apa. Untuk menolak lamaran seorang Kepala Suku adalah hal yang mustahil, tapi jika diterima, ia khawatir akan nasib bayinya kelak.
“Kalau begitu saya pulang dulu. Keluarga pasti senang dengan kabar ini”, ucap Kepala Suku tanpa memandang wajah Karim yang pucat. Sejurus kemudian ia sudah melesat ditelan pekatnya malam. Purnama tak tampak malam itu.
###
Mesang (pelataran) di depan rumah Karim ramai. Keluarga berkumpul di pelataran untuk mengadakan upacara kelahiran. Beberapa penari lego-lego6 wanita telah menggerai rambutnya. Dukun pun telah bersiap membakar kemenyan di depan misbah. Tiba-tiba Kepala Suku muncul bersama beberapa orang keluarganya.
“Saya ikut upacara ini”, katanya.
Tidak biasanya kepala suku menghadiri langsung upacara kelahiran seperti ini. Tapi keluarga Karim tak mungkin menolak.
“Segera dimulai saja upacaranya”, suruh Kepala Suku pada sang dukun.
            Dukunpun komat-kamit membaca mantera untuk meminta keselamatan sang bayi. Sesekali, ia menaburkan gula di atas kemenyan agar tetap berasap. Decakan cecak sontak membuat semua orang menoleh. Bunyi cecak merupakan pertanda bagi suku Alor.
“Arwah leluhur telah datang bersama kita. Mereka pasti memberikan berkatnya pada bayimu, Karim”, ucap sang dukun. Karim tersenyum. Andai saja kepala suku tak hadir, pasti ia menjadi manusia paling bahagia saat ini.
            Upacara dilanjutkan dengan tarian lego-lego. Ada sekitar 25 orang yang ikut menari bergandengan. Suara moko yang ditabuh beradu dengan gemerincing gelang kaki penari. Sesekali penari melontarkan pantun, kemudian menyanyi bersama dengan bahasa adat Alor. Mereka menari semalam suntuk.
###
            Belum sempat Karim beristirahat, Kepala Suku sudah datang bersama keluarganya pagi-pagi sekali. Sebagai penduduk biasa, ia tak kuasa menolak tamu agungnya itu. dengan berat hati Karim mempersilahkan mereka masuk ke kolwat. Jantungnya mulai berdenyut lebih kencang.
“Keluarga kami datang kesini untuk memberi kabar gembira”, ucap Kepala Suku tanpa basa-basi. Dahi Karim mengernyit. Dia heran, bukankah seharusnya ada seseorang yang didaulat untuk menjadi pembicara dalam pertemuan keluarga? Mengapa Kepala Suku langsung bicara sendiri?
“Hari ini kami akan meminang putrimu”, ujar Kepala Suku tersenyum. Ia memang terlihat tergesa sekali dengan pertunangan itu. Seolah tak ingin bayi perempuan itu menjadi milik taruna7 lain.
            Karim hanya mengangguk-angguk pelan. Entah apa maksudnya; apakah itu artinya ia menerima pinangan atau hanya tanda bahwa ia telah mengerti maksud Kepala Suku.
“Derajat keluargamu akan meningkat bila menjadi keluarga Kepala Suku”, bujuknya.
            Benar saja kalau Karim akan mendapatkan derajat tinggi ketika menjadi besan Kepala Suku. Bahkan putrinya akan menjadi ratu di suku Alo, bila nanti suaminya menggantikan ayahnya sebagai kepala suku. Tentu pinangan ini adalah berkah, andai saja kutukan itu tidak pernah terjadi.
“Kira-kira kapan kita akan mengadakan gallar?”, lamunan Karim buyar ketika mendengar pertanyaan kepala suku itu. mimik wajahnya berubah, dahinya mengernyit.
“Saya harus bicara dulu dengan keluarga”, jawab Karim mengelak. Ia berusaha mencari waktu untuk menemukan alibi penolakan.
“Semua keluarga ada disini. Tanyakan saja sekarang”, kepala Suku rupanya sudah tidak sabar untuk mengawinkan anaknya.
            Karim berbalik menghadap keluarga yang sedari tadi duduk di belakangnya. Mereka mulai berbisik. Kepala Suku gusar, ia khawatir bila keluarga Karim menolak pinangannya. “Kalau sampai menolak, akan kubuat anak gadismu dibakar hidup-hidup”, sumpahnya dalam hati.
“Kami minta moko”, ujar Karim terbata-bata.
“Hahahahaha....”, kepala suku terkekeh, begitu pula keluarganya.
“Tentu saja. Bahkan kami sudah membawakannya sekarang”. Seorang keluarga kemudian menyerahkan sebuah moko malei tana8.
“Tidak bisa”, tolak Karim.
“Apa maksudmu?”, Kepala suku sontak naik pitam.
“Kami ingin 100 moko malei tana”.
“Itu mustahil. Kau tahu berapa harga satu malei tana?”, sergah kepala suku sambil menunjuk gendang panjang yang usianya ratusan tahun di depannya.
“Harga putri kami bahkan tak terukur dengan moko. Sudah 3 tahun desa kita tak pernah mendengar tangisan bayi perempuan”, jawab Karim percaya diri.
            Mendengar ucapan Karim itu,  Kepala Suku sedikit berpikir. Memang benar, sudah 3 tahun ini setiap bayi yang lahir selalu berjenis kelamin laki-laki. Terang saja kalau putri Karim diperebutkan banyak keluarga. Bahkan, ia bisa mendadak jadi kepala suku hanya karena memiliki seorang anak wanita.
“Baiklah”, janji kepala suku tanpa pikir panjang. Apapun akan ia lakukan asal bayi itu menjadi menantunya.
“Dalam waktu satu minggu. Bila tidak, akan kami tawarkan pada taruna lain” Karim benar-benar berniat menghalangi pinangan kepala suku itu.
“Lihat saja nanti. Anakmu akan jadi milikku!”, bentak Kepala Suku dan langsung pergi.
###
Seharian ini Kepala Suku hanya mondar-mandir gelisah. Ia terus berpikir keras untuk mengumpulkan 100 moko malei tana dalam waktu satu minggu saja. Andai moko bisa dibuat, tentu ia sudah kerahkan penduduk untuk membuat seribu moko demi anak Karim. Sayang, moko malei tana tak mungkin dibuat. Benda itu adalah peninggalan zaman kerajaan Dongsong yang hidup 350 tahun sebelum masehi.
            Untuk mencarinya di hutan rupanya cukup sulit, apalagi waktunya hanya satu minggu. Belakangan pemerintah gencar mengumpulkan moko untuk dipajang di museum moko. Siapapun yang menyerahkan moko ke museum akan diberi imbalan yang tidak sedikit. Banyak orang dari luar Alor yang kemudian berburu moko demi mendapatkan setumpuk rupiah.
            Seandainya ia membeli dari para sesepuh adat juga tidak mungkin sampai seratus buah. Masing-masing keluarga butuh moko untuk belis7 anak mereka masing-masing. Kalau membeli dari museum juga akan sulit karena harganya bisa sampai ratusan juta. Darimana ia akan mendapatkan uang sebanyak itu. meskipun seorang kepala suku, ia tidak lebih dari seorang petani.
            Di tempat lain, Karim dirundung rasa khawatir. Ia takut bila kepala suku berhasil mengumpulkan 100 moko. Sebenarnya, ia merasa bersalah karena telah mempermainkan kepala suku. Tapi, kutukan itu terus menghantui pikirannya. Karim kemudian memutuskan untuk berdoa di depan misbah.
            Ingatan Karim kembali pada peristiwa Alor beberapa tahun yang lalu. Ketika seorag dukun menyumpahi kandungan istri kepala suku. Dukun itu terlanjur sakit hati atas perbuatan kepala suku. Entah pertimbangan apa yang membuatnya tega berbuat demikian.  
            Penduduk setempat menganggap penyakit ayan yang diderita sang dukun adalah sebuah kutukan yang bisa menular. Mereka tidak mau terkena kutukan yang sama dari para leluhur bila ia tetap disini. Alih-alih menenangkan warga, kepala suku justru tersulut emosi hingga mengusir anak tak bersalah itu. sebelum pergi, dukun itu mengutuk jabang bayi kepala suku yang masih dalam kandungan istrinya. Kelak, anak itu akan mendapatkan penyakit kutukan yang membuat para gadis tidak mau menikah dengannya. Bahkan masyarakat akan jijik melihatnya. Benar saja, ketika anak laki-laki kepala suku lahir, ia terlihat aneh. Wajahnya bulat, matanya sipit, bibir besar, kaki berbentuk O dan tangisnya mirip kucing. Setelah besar semakin tampak aneh. Tubuh anak itu pendek, air liurnya menetes terus, tidak bisa diajak bicara dengan baik, dan suka berperilaku sesuka hati.
###
            Batas waktu yang diberikan Karim telah habis. Tapi kepala suku belum juga memiliki 100 moko malei tana untuk diserahkan untuk belis. Ia bingung, apa lagi yang harus dilakukan. Semua usaha, mulai membeli dari keluarga lain, mencarinya di pegunungan, hingga membeli dari pemerintah sudah dilakukan. Sebenarnya kepala suku menyadari kalau ini hanyalah penolakan Karim secara halus. Hanya saja ia terlalu gengsi untuk menolak permintaan Karim tersebut.
            Setelah merenung beberapa saat, ia putuskan untuk menemui Karim di rumahnya. Setidaknya ia akan mencoba merayu Karim agar menerima moko yang sudah terkumpul dan melunasi sisanya setelah perkawinan. Cara seperti itu diperbolehkan dalam tradisi Alor.
###
            Melihat kepala suku menuju kolwatnya dengan wajah lesu, hati Karim bersorak gembira. Ia telah menang dari kepala suku tanpa harus banyak bertindak. Dengan sombong Karim melipat tangan di dada dan menatap kepala suku dengan pandangan melecehkan.
“Sudahlah, tidak usah murung. Batalkan saja keinginan kau untuk meminang putriku”, ucap Karim lantang.
“Tidak bisa. Kita lakukan gallar, setelah itu akan kubayar sisanya nanti”, minta Kepala Suku.
“Apa? Haha...”, Karim tertawa congah, “tidak bisa! Ini sudah melewati batas waktu. Artinya perkawinan dibatalkan. Kau cari saja wanita lain. Mama Sangahi yang umurnya 40 tahun juga siap untuk dikawin anakmu”, hina Karim. Kepala suku tersenyum kecut mendengar ejekan Karim. Dalam hatinya berkata, “lihat saja apa yang akan kuperbuat nanti”.
###
            Satu tahun setelah kelahiran putri Karim, masih belum ada lagi bayi perempuan yang terlahir di tanah Alor. Penduduk benar-benar dibuat cemas. Mereka berbondong-bondong mendatangi kepala suku untuk membicarakan ini kepada para leluhur dan Tuhan. Kepala suku menyetujuinya. Ia kemudian pergi bersemedi di dalam hutan selama satu bulan penuh untuk mencari jalan keluar dari masalah tersebut.
##
            Hari ini kepala suku akan kembali dari semedinya. Masyarakat yang sudah tidak sabar mendengar kabar dari kepala suku menunggunya di mulut hutan. Akhirnya sosok yang ditunggu itu muncul juga. Di depan penduduk Alor, kepala suku memberitahukan bisikan yang dikatakannya dari para leluhur.
“Saudaraku, para leluhur kita meminta persembahan seorang bayi perempuan yang lahir ketika petir dan badai. Bayi itu adalah keturunan iblis dan membawa musibah”, jelas Kepala Suku lantang, “persembahan harus dilakukan tengah malam nanti ketika purnama menunjukkan batang hidungnya”.
###
Penduduk Alor sibuk menyiapkan persembahan di mesang. Mereka menata kayu bakar beberapa meter di depan misbah. Tempat itu akan digunakan untuk membakar bayi Karim. Sementara itu, beberapa penari lego-lego telah siap berperang melawan iblis.
Karim dan istrinya sungguh panik. Anak perempuannya kini telah ada di rumah kepala suku dan sebentar lagi akan dibakar. Ia tahu bahwa semua ini hanya rekayasa kepala suku untuk meluapkan dendamnya. Mereka berpikir keras untuk menyelamatkan nyawa bayi perempuannya.
###
Kebakaran....Kebakaran
Si jago merah rupanya melalap kolwat Kepala suku yang terbuat dari kayu. Dalam sekejap kolwat itu telah berubah menjadi abu. Beruntung keluarga kepala suku berhasil keluar dengan selamat. Penduduk berusaha memadamkan api. Suasana benar-benar gaduh. Orang-orang keluar rumah untuk menyaksikan peristiwa ganjil itu. Bagi suku Alor, kejadian tersebut sungguh aneh. Kebakaran tidak pernah sekalipun terjadi karena mereka selalu bersahabat dengan alam. Apalagi saat ini adalah musim penghujan. Semua orang berbisik membicarakan keganjilan tersebut. Mereka lupa dengan acara pembakaran bayi Karim malam ini.
###
            Hujan deras terus mengguyur tanah Alor. Angin kencang seolah ingin menerbangkan apapun yang dijumpainya. Seorang mama Alor terus berlari kencang menerjang badai. Didekapnya bayi perempuan yang berselimut tenun Alor berlapis. Mulutnya komat-kamit memanjatkan doa untuk keselamatan bayinya. Hatinya bersorak setelah menemukan sebuah sebuah gua dengan nyala api unggun. “Setidaknya kupastikan hidup bayi ini”, gumamnya. Harapan baru untuk hidup lebih baik terpampang nyata.

1 rumah adat suku Alr
2.panggilan untuk wanita yang sudah menikah
3.misbah
4. benda berbentuk mirip gendang panjang dari eperunggu
5. pesta perkawinan
6. tarian suku Alor. Dahulu untuk berperang
7.jejaka
8.jenis moko yang mahal
9. mas kawin





Tidak ada komentar:

Posting Komentar