Minggu, 16 Agustus 2015

Bayaran



           
    Sudah satu jam, Darmin duduk di atas sajadahnya sambil sesenggukan. Mulutnya terus komat-kamit mengucap doa pada Yang Kuasa, setengah memaksa agar segera dikabulkan. Ia tak tahu lagi apa yang harus dilakukan kecuali memelas pada Yang Kuasa. Melihat suaminya belum beranjak juga, Farida, istri Darmin mendekat dan duduk tepat di sampingnya.
“Sudahlah pak, jangan terlalu dipikirkan”, bujuk Farida.
“Sudah lima bulan, Bu, tapi..”, Darmin tak kuasa melanjutkan kata-katanya yang memang menyakitkan. Bagi seorang buruh bangunan seperti Darmin, uang 5 juta rupiah yang belum dibayarkan selama lima bulan itu memang terasa sangat banyak. Apalagi dirinya adalah kepala keluarga yang harus menghidupi seorang istri dan dua anak.
“Tenang pak, rezeki tidak akan kemana. Tuhan tidak tidur hingga membiarkan rezeki bapak diambil orang”, bujuk istrinya kembali. Istri Darmin memang terlihat lebih tegar kendati hatinya kerap meratap kalau ingat uang lima jutanya itu. Tapi mau bagaimana lagi? Dirinya tidak mungkin limbung dan putus asa saat suaminya kalut seperti sekarang ini.
“Tapi bu, apa nanti dia mau bayar?” tanya Darmin yang nyaris putuh asa.
“Dia bayar atau tidak, uang itu akan sampai ke tangan kita dengan cara Tuhan. Bisa jadi dari arah yang tidak disangka-sangka”.
Mendengar ceramah istrinya, Darmin mengangguk. Hatinya sedikit tenang kali ini. Begitulah setiap kali Darmin kalut karena masalah uang lima juta itu, istrinya selalu memberikan nasehat jitu.
            Sebenarnya Darmin sudah berupaya keras mendapatkan haknya. Beberapa kali ia datangi rumah pemilik proyek perumahan tempatnya bekerja dulu. Tapi yang diucapkan bos itu selalu sama, “belum ada uang soalnya kredit macet.” Darmin dan istrinya sama sekali tidak percaya kalau mereka tidak punya uang untuk membayar keringatnya. Nyatanya Bos Perumahan itu acapkali pergi dengan Honda Mobilio-nya bersama istri dan anaknya, kemudian pulang membawa lima tas besar berisi barang-barang. Istri bos perumahan itu juga tidak pernah absen pergi ke salon tempat istri Darmin bekerja. Setiap kali melihat sosoknya di salon, istri Darmin hanya mengelus dada. Pernah ia menegur masalah uang yang belum dibayar pada istri bos perumahan itu, tapi dirinya malah dapat makian yang memalukan.
            Kali ini Darmin benar-benar terdesak, uang tabungannya nyaris habis untuk kebutuhan rumah tangga. Dia belum mendapatkan pekerjaan baru setelah keluar dari proyek perumahan itu. Sedangkan gaji istrinya yang hanya buruh di salon tentu tidak mencukupi semua kebutuhan. Dengan berat hati, Darmin kembali mendatangi rumah Bos Perumahan itu, tanpa sepengetahuan istrinya.
“Sudah lima bulan saya belum dibayar pak, janjinya awal bulan ini mau dicicil”, katanya dengan wajah berharap.
“Oh iya, saya lupa”, jawab laki-laki berewok itu enteng.
“Sekarang bisa saya minta sebagiannya, pak? Tidak dilunasi dulu tidak apa-apa, yang penting bisa buat makan”, pinta Darmin dengan memelas.
“Aduh, gimana ya, masalahnya rumit. Saat ini saya tidak punya uang tunai”, kilahnya.
“Tapi pak, ini sudah lima bulan dan belum dicicil sama sekali. Bapak bisa hutang dulu atau jual perabotan rumah untuk membayar saya”, bujuk Darmin.
“Begini saja, minggu depan saya bayar dan akan saya tambahin karena terlambat membayar”. Bos perumahan itu kembali memberikan janji. Kali ini Darmin sudah tidak percaya sama sekali dengan ucapannya.
“Tidak usah ditambahin. Hak saya dibayar saja sudah cukup! Saya butuh uang sekarang, bukan besok-besok!”, bentak Darmin dengan emosi.
“Sudah saya bilang tidak ada uang sekarang! Kalau mau minggu depan, kalau tidak ya sudah”, jawab Bos Perumahan itu tidak kalah keras. Ia langsung pergi ke dalam rumahnya tanpa memperhatikan Darmin yang sudah berkaca-kaca.
            Dengan langkah penuh emosi, Darmin pulang ke rumahnya. Ia hanya menunduk saja sepanjang jalan menahan airmata. Sesampainya di rumah, Darmin segera menuju bilik kecilnya dan mencurahkan semua pada Tuhan.
“Tuhan, sudah kumohon baik-baik padaMu untuk mengembalikan uang itu padaku. Nyatanya sampai kini belum Kau kabulkan juga. Sekarang aku mohon balaskan segala rasa sakit di hatiku, limpahkan rezekinya padaku dan rasakan segala penderitaanku padanya. Aku tidak ingin lagi berdoa yang baik untuknya. Sekarang aku hanya ingin dia ditimpa segala kesengsaraan. Tuhan, jika Kau ada, kabulkanlah doaku ini”, ucap Darmin dengan suara keras dan linangan airmata.
 Ia tak lagi menghiraukan apakah doanya itu pantas atau tidak. Hanya satu hal yang ia mengerti saat ini bahwa hatinya benar-benar sakit.

            Sepuluh tahun berlalu sejak peristiwa di rumah bos perumahan yang menyakitkan itu. Kini Darmin dan istrinya sudah punya salon dan rias pengantin sendiri dari modal pemberian saudaranya. Salonnya cukup ramai hingga mengangkat derajat keluarganya.
Seperti biasanya, pagi ini Darmin dan istrinya sedang menjalankan sholat fajar. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumah mereka.
“Siapa gerangan yang bertamu pagi-pagi buta?”, bisik Farida dengan menatap suaminya.
Sempat terlintas pikiran buruk di benak Darmin dan istrinya. Maklum, akhir-akhir ini sering ada begal, maling, dan rampok dengan berbagai modus. Dengan ragu, Darmin membuka pintu rumahnya perlahan. Nafasnya tercekat di tenggorokan ketika menyaksikan seorang wanita kurus dan kumal berdiri di depannya. Ia tidak lain adalah istri bos perumahan yang dulu mendzalimi hartanya. Darmin masih ingat benar kendati perawakannya telah berubah.
“Pak Darmin?”, sapa wanita itu agak takut.
“Ada apa?”, jawab Darmin singkat. Ada pertanyaan besar di benaknya, “mengapa penampilan wanita ini berbeda sekali dengan waktu itu?”.
“Saya hanya ingin memberikan uang hutang suami saya”, katanya sembari menyodorkan amplop coklat tebal berisi tujuh juta rupiah.
Darmin menerima amplop itu tanpa berkata apapun. Ia hanya memandangi langkah wanita itu yang semakin menjauh. Istri Darmin yang baru saja menyelesaikan sholat subuhnya sempat melihat sosok wanita kurus istri bos perumahan itu dari belakang. Ia kemudian bertanya, “Kenapa dia ke sini, pak?”
“Menebus dosa”, jawabnya singkat. Istri Darmin langsung tahu apa maksud suaminya itu.
“Kenapa diterima, pak?”
“Ya memang hakku, kenapa tidak? Dia berdandan begitu pasti pura-pura biar kita tidak terima uangnya. Tapi bapak tidak akan tertipu lagi sama orang seperti mereka”, cerocos Darmin sambil berjalan ke ruang tengah rumahnya. Ia kemudian melanjutkan sholat subuh yang sempat tertunda.
Dengan sabar istri Darmin menunggui suaminya menyelesaikan ibadahnya. Ia kemudian menceritakan kalau tempo hari istri mantan bos perumahan itu datang ke salon untuk melamar kerja. Sontak saja ditolak oleh istri Darmin yang mengetahui bahwa dirinya bukan orang baik. Ia sempat mengiba dan bilang kalau sudah melamar kerja dimana-mana tapi tidak ada yang mau menerima. Tentu saja begitu, siapa pula yang percaya pada manusia yang sifatnya seperti mereka?
Mendengar penuturan istrinya itu, Darmin menghela nafas. Dirinya benar-benar tidak tahu kalau mereka sekarang bangrut dan hidup menderita. Ia kemudian teringat pada doanya yang meminta pada Tuhan agar mengalirkan rezeki bos perumahan itu pada dirinya. Sekarang Tuhan telah mengabulkan doanya sepuluh tahun yang lalu. Meski begitu, dalam hatinya terselip rasa iba.
“Lalu sekarang bagaimana, pak?”, tanya istri Darmin membuyarkan lamunannya.
“Apa lagi? Ya, biarkan saja menjadi pelajaran hidup bagi mereka. Setiap orang yang menzalimi harta orang lain sebenarnya sedang memangkas rezeki mereka sendiri. Balasannya mungkin tidak dirasakan seketika, tapi di waktu yang akan datang”, nasehat Darmin pada istrinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar