“Sudahlah
pak, jangan terlalu dipikirkan”, bujuk Farida.
“Sudah
lima bulan, Bu, tapi..”, Darmin tak kuasa melanjutkan kata-katanya yang memang
menyakitkan. Bagi seorang buruh bangunan seperti Darmin, uang 5 juta rupiah
yang belum dibayarkan selama lima bulan itu memang terasa sangat banyak. Apalagi
dirinya adalah kepala keluarga yang harus menghidupi seorang istri dan dua
anak.
“Tenang
pak, rezeki tidak akan kemana. Tuhan tidak tidur hingga membiarkan rezeki bapak
diambil orang”, bujuk istrinya kembali. Istri Darmin memang terlihat lebih
tegar kendati hatinya kerap meratap kalau ingat uang lima jutanya itu. Tapi mau
bagaimana lagi? Dirinya tidak mungkin limbung dan putus asa saat suaminya kalut
seperti sekarang ini.
“Tapi
bu, apa nanti dia mau bayar?” tanya Darmin yang nyaris putuh asa.
“Dia
bayar atau tidak, uang itu akan sampai ke tangan kita dengan cara Tuhan. Bisa
jadi dari arah yang tidak disangka-sangka”.
Mendengar
ceramah istrinya, Darmin mengangguk. Hatinya sedikit tenang kali ini. Begitulah
setiap kali Darmin kalut karena masalah uang lima juta itu, istrinya selalu
memberikan nasehat jitu.
Sebenarnya Darmin sudah berupaya
keras mendapatkan haknya. Beberapa kali ia datangi rumah pemilik proyek
perumahan tempatnya bekerja dulu. Tapi yang diucapkan bos itu selalu sama, “belum
ada uang soalnya kredit macet.” Darmin dan istrinya sama sekali tidak percaya
kalau mereka tidak punya uang untuk membayar keringatnya. Nyatanya Bos
Perumahan itu acapkali pergi dengan Honda Mobilio-nya bersama istri dan anaknya,
kemudian pulang membawa lima tas besar berisi barang-barang. Istri bos
perumahan itu juga tidak pernah absen pergi ke salon tempat istri Darmin
bekerja. Setiap kali melihat sosoknya di salon, istri Darmin hanya mengelus
dada. Pernah ia menegur masalah uang yang belum dibayar pada istri bos
perumahan itu, tapi dirinya malah dapat makian yang memalukan.
Kali ini Darmin benar-benar
terdesak, uang tabungannya nyaris habis untuk kebutuhan rumah tangga. Dia belum
mendapatkan pekerjaan baru setelah keluar dari proyek perumahan itu. Sedangkan
gaji istrinya yang hanya buruh di salon tentu tidak mencukupi semua kebutuhan.
Dengan berat hati, Darmin kembali mendatangi rumah Bos Perumahan itu, tanpa
sepengetahuan istrinya.
“Sudah
lima bulan saya belum dibayar pak, janjinya awal bulan ini mau dicicil”, katanya
dengan wajah berharap.
“Oh
iya, saya lupa”, jawab laki-laki berewok itu enteng.
“Sekarang
bisa saya minta sebagiannya, pak? Tidak dilunasi dulu tidak apa-apa, yang penting
bisa buat makan”, pinta Darmin dengan memelas.
“Aduh,
gimana ya, masalahnya rumit. Saat ini saya tidak punya uang tunai”, kilahnya.
“Tapi
pak, ini sudah lima bulan dan belum dicicil sama sekali. Bapak bisa hutang dulu
atau jual perabotan rumah untuk membayar saya”, bujuk Darmin.
“Begini
saja, minggu depan saya bayar dan akan saya tambahin karena terlambat
membayar”. Bos perumahan itu kembali memberikan janji. Kali ini Darmin sudah
tidak percaya sama sekali dengan ucapannya.
“Tidak
usah ditambahin. Hak saya dibayar saja sudah cukup! Saya butuh uang sekarang,
bukan besok-besok!”, bentak Darmin dengan emosi.
“Sudah
saya bilang tidak ada uang sekarang! Kalau mau minggu depan, kalau tidak ya
sudah”, jawab Bos Perumahan itu tidak kalah keras. Ia langsung pergi ke dalam
rumahnya tanpa memperhatikan Darmin yang sudah berkaca-kaca.
Dengan langkah penuh emosi, Darmin pulang
ke rumahnya. Ia hanya menunduk saja sepanjang jalan menahan airmata.
Sesampainya di rumah, Darmin segera menuju bilik kecilnya dan mencurahkan semua
pada Tuhan.
“Tuhan,
sudah kumohon baik-baik padaMu untuk mengembalikan uang itu padaku. Nyatanya
sampai kini belum Kau kabulkan juga. Sekarang aku mohon balaskan segala rasa
sakit di hatiku, limpahkan rezekinya padaku dan rasakan segala penderitaanku
padanya. Aku tidak ingin lagi berdoa yang baik untuknya. Sekarang aku hanya
ingin dia ditimpa segala kesengsaraan. Tuhan, jika Kau ada, kabulkanlah doaku
ini”, ucap Darmin dengan suara keras dan linangan airmata.
Ia tak lagi menghiraukan apakah doanya itu
pantas atau tidak. Hanya satu hal yang ia mengerti saat ini bahwa hatinya
benar-benar sakit.
Sepuluh tahun berlalu sejak
peristiwa di rumah bos perumahan yang menyakitkan itu. Kini Darmin dan istrinya
sudah punya salon dan rias pengantin sendiri dari modal pemberian saudaranya.
Salonnya cukup ramai hingga mengangkat derajat keluarganya.
Seperti
biasanya, pagi ini Darmin dan istrinya sedang menjalankan sholat fajar. Tiba-tiba
ada yang mengetuk pintu rumah mereka.
“Siapa
gerangan yang bertamu pagi-pagi buta?”, bisik Farida dengan menatap suaminya.
Sempat
terlintas pikiran buruk di benak Darmin dan istrinya. Maklum, akhir-akhir ini
sering ada begal, maling, dan rampok dengan berbagai modus. Dengan ragu, Darmin
membuka pintu rumahnya perlahan. Nafasnya tercekat di tenggorokan ketika
menyaksikan seorang wanita kurus dan kumal berdiri di depannya. Ia tidak lain
adalah istri bos perumahan yang dulu mendzalimi hartanya. Darmin masih ingat
benar kendati perawakannya telah berubah.
“Pak
Darmin?”, sapa wanita itu agak takut.
“Ada
apa?”, jawab Darmin singkat. Ada pertanyaan besar di benaknya, “mengapa
penampilan wanita ini berbeda sekali dengan waktu itu?”.
“Saya
hanya ingin memberikan uang hutang suami saya”, katanya sembari menyodorkan
amplop coklat tebal berisi tujuh juta rupiah.
Darmin
menerima amplop itu tanpa berkata apapun. Ia hanya memandangi langkah wanita
itu yang semakin menjauh. Istri Darmin yang baru saja menyelesaikan sholat
subuhnya sempat melihat sosok wanita kurus istri bos perumahan itu dari
belakang. Ia kemudian bertanya, “Kenapa dia ke sini, pak?”
“Menebus
dosa”, jawabnya singkat. Istri Darmin langsung tahu apa maksud suaminya itu.
“Kenapa
diterima, pak?”
“Ya
memang hakku, kenapa tidak? Dia berdandan begitu pasti pura-pura biar kita
tidak terima uangnya. Tapi bapak tidak akan tertipu lagi sama orang seperti
mereka”, cerocos Darmin sambil berjalan ke ruang tengah rumahnya. Ia kemudian
melanjutkan sholat subuh yang sempat tertunda.
Dengan
sabar istri Darmin menunggui suaminya menyelesaikan ibadahnya. Ia kemudian
menceritakan kalau tempo hari istri mantan bos perumahan itu datang ke salon
untuk melamar kerja. Sontak saja ditolak oleh istri Darmin yang mengetahui
bahwa dirinya bukan orang baik. Ia sempat mengiba dan bilang kalau sudah
melamar kerja dimana-mana tapi tidak ada yang mau menerima. Tentu saja begitu,
siapa pula yang percaya pada manusia yang sifatnya seperti mereka?
Mendengar
penuturan istrinya itu, Darmin menghela nafas. Dirinya benar-benar tidak tahu
kalau mereka sekarang bangrut dan hidup menderita. Ia kemudian teringat pada
doanya yang meminta pada Tuhan agar mengalirkan rezeki bos perumahan itu pada
dirinya. Sekarang Tuhan telah mengabulkan doanya sepuluh tahun yang lalu. Meski
begitu, dalam hatinya terselip rasa iba.
“Lalu
sekarang bagaimana, pak?”, tanya istri Darmin membuyarkan lamunannya.
“Apa
lagi? Ya, biarkan saja menjadi pelajaran hidup bagi mereka. Setiap orang yang
menzalimi harta orang lain sebenarnya sedang memangkas rezeki mereka sendiri.
Balasannya mungkin tidak dirasakan seketika, tapi di waktu yang akan datang”,
nasehat Darmin pada istrinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar