Jumat, 21 Agustus 2015

Pertemuan Terakhir






Sekali lagi kuingatkan diriku bahwa cinta bisa menusuk tanpa ampun. Bulir airmata yang pernah membanjiri wajahku harusnya menjadi cambuk untuk tidak kembali menyerahkan cinta. Tapi, seperti kera yang tak pernah tahan mencium aroma pisang, begitulah diriku kembali jatuh dalam percintaan. 

Di penghujung malam kau buat aku terisak dengan kata perpisahan. Bagaimana kau bisa melakukannya setelah sepekan lalu kau buai aku dengan janji pernikahan? Nyaris kuberitahu orangtuaku ihwal kita. Tapi bagaimana bisa? Apa salahku? Hanya alasan tidak cinta lagi kau  mengakhiri hubungan kita yang sudah berjalan 4 tahun. Secepat itukah cinta pudar dari hatimu?

“Maafkan aku. Sampai detik ini aku masih menyayangimu. Tapi aku tidak bisa hidup dengan perempuan sepertimu”, pesanmu malam itu yang merampas nadi kebahagiaanku. 

Apa yang bisa kulakukan selain terisak pedih tanpa suara? Tidak mungkin kubiarkan keluarga yang selama ini menganggapku sebagai wanita tegar harus melihatku menangisi seorang laki-laki. Tapi, kepedihan batinku saat itu terukir hingga tahun-tahun berikutnya dalam kehidupanku. 

Malam itu juga aku telah bersumpah bahwa aku tidak akan menyerahkan hatiku pada seorang laki-lakipun. Kalaupun aku harus menikah, pernikahan itu bukan karena cinta, tapi hanyalah tradisi kehidupan. Bahkan untuk suamiku sekalipun, aku tak perlu menyerahkan cintaku sepenuhnya. Kupikir itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan bulir-bulir kebahagiaanku sendiri. 

“Baiklah. Kau bisa pergi dengan tenang. Setelah malam ini aku akan menghapus semua tentangmu”, pesan terakhirku dan itu benar-benar terakhir hingga aku menerima pinangan laki-laki lain. 
 
Sesekali kau masih mencoba menghubungiku, menelpon tanpa nomor. Aku tahu itu kau. Cukup sulit menghapus bayangku, bukan? Tapi kini akulah yang menghapusmu sendiri dengan darah kebencian. Rasa benci dan dendam yang kelak akan menjadi sumber kekuatan bagiku untuk bertahan dari api kepedihan berikutnya.

“Sebentar lagi aku akan berangkat sekolah ke luar negeri, mohon doakan kesuksesanku. Maaf atas kesalahan selama ini”, pesanmu lagi. Aku hanya memicingkan mata membacanya. Senyum kemenangan bahwa kaulah yang pada akhirnya masih memiliki rasa padaku. Kau bilang “maaf”? Ketika hatiku telah terluka pedih, maaf bukan lagi hal yang bisa kuberikan. Sampai penghujung usiakupun, aku tetap akan ingat betapa kepedihan itu pernah merampas nafasku. 

***
Dua minggu berlalu dengan lebih tenang. Hatiku yang remuk redam mulai bisa menyibakkan tirai harapan pada pria lain. Kaupun tak pernah lagi menghubungiku. Sejujurnya, ada sedikit harap kau akan mengirimkan pesan atau sekadar misscall.
 
“Ah, sudahlah!”, gumamku. Tunggu! Setelah membaca pesan terakhirmu, aku mengubah setting ponsel qwerty ini untuk menolak pesan atau panggilan dari nomormu. Lalu, bagaimana mungkin aku bisa tahu kau menghubungiku atau tidak? Hanya ada satu cara. Jariku dengan gesit membuka kotak spam. Benar saja, ada 5 pesan yang semuanya darimu. 

“Kenapa tidak membalas semua pesanku? Aku hanya ingin bertemu untuk terakhir kali sebelum berangkat ke luar negeri”, pesan kelima. 

Semua isi sms itu sama; meminta pertemuan terakhir. Sontak aku didera kebimbangan. Untuk apa menemuimu lagi? Apakah kau akan kembali kepadaku? Tapi aku tak lagi berharap untuk bersamamu. Sudah cukup kepedihan itu menikam jantungku. Kau tinggalkan aku saat terjatuh. Ibuku sakit keras, pihak bank datang menagih hutang, sedang SPP kedua adikku harus dilunasi, dan ayahku hanya diam tanpa peduli,. Kaulah satu-satunya orang yang kukira bisa membantuku. Tapi yang kau berikan adalah kata perpisahan.

Setelah beberapa kali membaca pesanmu, Akhirnya aku luluh juga. Ada alasan yang memaksaku untuk membuat janji bertemu denganmu. Sebuah tempat sepi yang dulu biasa kita kunjungi untuk mengurai gelang rindu. Tentu kali ini bukan untuk bercinta lagi, tapi demi mengembalikan harga diriku yang terampas saat aku menangis demi mengais cintamu. Akan kutunjukkan padamu bahwa aku tidak menyesal dengan keputusanmu. Aku tegar dan bahagia.

###
 Langkahku mantap menujumu, sosok pria yang sangat kukenal berdiri menyandar dinding dengan kaki ditekuk sebelah, kedua tangan dimasukkan saku jaket, dan pandangan menunduk. Gaya khas dirimu, tapi tidak lagi mempesonaku.
“Ada apa?”, tanyaku datar. Kepalamu mendongak, tapi bukan untuk menatapku.
“Ayo, kita pergi ke luar negeri bersama. Aku bisa menundanya sampai kau siap”, suaramu pelan dan kembali menunduk.
“Aku tidak mau!”, jawabku singkat dan jelas.
“Kenapa? Bukankah saat itu kau menangis dan memohon untuk tetap bersamaku? Aku bahkan mengambil keputusan untuk membatalkan kuliah demi menunggumu”. Aku tidak tahu yang kau katakan ini sungguhan atau tidak. Ada keinginan untuk menerima tawaranmu ini. Tapi, sudah sekian kali kau putuskan aku lalu kembali dengan alasan baru. Sekarang, bagaimana bisa aku mempercayaimu?

“Itu bukan urusanku! Kau telah melepasku, bukan? Sekarang aku telah bertunangan dengan pria lain. Tinggal menentukan tanggal pernikahan”, terangku laksana petir yang menggelegar di telingamu. Aku tersenyum puas. 

“Bagaimana bisa kau menikahi pria yang baru kau kenal?”, kau berusaha menyanggah kenyataannya. Menyungging senyum untuk mengejekku.

“Kau salah. Aku telah mengenalnya 2 tahun yang lalu. Dia punya karakter, pekerjaan, dan pendidikan yang cukup bagus. Kau yang waktu itu mengatakan kalau ada pria yang lebih baik darimu, aku boleh menerimanya”, balasku atas luka yang kau hujamkan malam itu. Sebenarnya, untuk hal inilah aku mau datang menemuimu. Aku ingin melihat sendiri ekspresi rasa sakit di wajahmu.

Tanpa bicara lagi segera kubalikkan badan, melangkah mantap meninggalkanmu yang masih membisu. Tiba-tiba, Bukkk!!!! Aku sudah terjatuh dengan leher terlilit lenganmu. Sulit bagiku untuk bergerak atau sekadar bernafas. Kau menyuruhku untuk diam atau aku akan habis saat itu juga. Tidak ada pilihan lain kecuali menuruti maumu.

“Kau sudah terlalu sering menghinaku, berkata kasar dan menuduhku. Kecemburuanmu yang berlebih merusak ketenangan hidupku. Aku bahkan tak bisa memalingkan hati meski perasaanku berulangkai terluka atas sikapmu. Tapi, dengan mudah kau katakan bahwa dua tahun lalu kau mulai berkhianat? Aku bahkan membatalkan studiku demi menunggu kau siap. Tapi dengan mantap kau justru menolak tawaranku? Baiklah! Sebelum aku pergi, kau harus terluka”, kata-kata terakhir sebelum kegadisanku kau rampas dengan teramat kasar.

Cinta seharusnya menjadi pondasi kebahagiaan, bukan alasan untuk menyakiti. Ketika cinta tak dibatasi nalar dan iman, maka ia menjadi lebih liar dari singa kelaparan. Kini cinta tak hanya mengoyak hati, tapi juga kesucian yang aku banggakan. Aku sadar bahwa tak mungkin bisa mangkir dari cinta, tapi seharusnya aku ciptakan benteng pembatas hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar