Sekali lagi kuingatkan diriku bahwa
cinta bisa menusuk tanpa ampun. Bulir airmata yang pernah membanjiri wajahku
harusnya menjadi cambuk untuk tidak kembali menyerahkan cinta. Tapi, seperti
kera yang tak pernah tahan mencium aroma pisang, begitulah diriku kembali jatuh
dalam percintaan.
Di penghujung malam kau buat aku
terisak dengan kata perpisahan. Bagaimana kau bisa melakukannya setelah sepekan
lalu kau buai aku dengan janji pernikahan? Nyaris kuberitahu orangtuaku ihwal
kita. Tapi bagaimana bisa? Apa salahku? Hanya alasan tidak cinta lagi kau mengakhiri hubungan kita yang sudah berjalan 4
tahun. Secepat itukah cinta pudar dari hatimu?
“Maafkan
aku. Sampai detik ini aku masih menyayangimu. Tapi aku tidak bisa hidup dengan
perempuan sepertimu”, pesanmu malam itu yang merampas nadi kebahagiaanku.
Malam itu juga aku telah bersumpah bahwa aku tidak akan menyerahkan hatiku pada seorang laki-lakipun. Kalaupun aku harus menikah, pernikahan itu bukan karena cinta, tapi hanyalah tradisi kehidupan. Bahkan untuk suamiku sekalipun, aku tak perlu menyerahkan cintaku sepenuhnya. Kupikir itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan bulir-bulir kebahagiaanku sendiri.
“Baiklah. Kau bisa pergi dengan tenang. Setelah malam ini aku akan menghapus semua tentangmu”, pesan terakhirku dan itu benar-benar terakhir hingga aku menerima pinangan laki-laki lain.
Sesekali kau masih mencoba
menghubungiku, menelpon tanpa nomor. Aku tahu itu kau. Cukup sulit menghapus
bayangku, bukan? Tapi kini akulah yang menghapusmu sendiri dengan darah
kebencian. Rasa benci dan dendam yang kelak akan menjadi sumber kekuatan bagiku
untuk bertahan dari api kepedihan berikutnya.
“Sebentar
lagi aku akan berangkat sekolah ke luar negeri, mohon doakan kesuksesanku. Maaf
atas kesalahan selama ini”, pesanmu lagi. Aku hanya memicingkan mata
membacanya. Senyum kemenangan bahwa kaulah yang pada akhirnya masih memiliki
rasa padaku. Kau bilang “maaf”? Ketika hatiku telah terluka pedih, maaf bukan
lagi hal yang bisa kuberikan. Sampai penghujung usiakupun, aku tetap akan ingat
betapa kepedihan itu pernah merampas nafasku.
***
Dua minggu berlalu dengan lebih
tenang. Hatiku yang remuk redam mulai bisa menyibakkan tirai harapan pada pria
lain. Kaupun tak pernah lagi menghubungiku. Sejujurnya, ada sedikit harap kau
akan mengirimkan pesan atau sekadar misscall.
“Ah,
sudahlah!”, gumamku. Tunggu! Setelah membaca pesan terakhirmu, aku mengubah
setting ponsel qwerty ini untuk menolak pesan atau panggilan dari nomormu.
Lalu, bagaimana mungkin aku bisa tahu kau menghubungiku atau tidak? Hanya ada
satu cara. Jariku dengan gesit membuka kotak spam. Benar saja, ada 5 pesan yang
semuanya darimu.
“Kenapa
tidak membalas semua pesanku? Aku hanya ingin bertemu untuk terakhir kali
sebelum berangkat ke luar negeri”, pesan kelima.
Setelah beberapa kali membaca
pesanmu, Akhirnya aku luluh juga. Ada alasan yang memaksaku untuk membuat janji
bertemu denganmu. Sebuah tempat sepi yang dulu biasa kita kunjungi untuk
mengurai gelang rindu. Tentu kali ini bukan untuk bercinta lagi, tapi demi
mengembalikan harga diriku yang terampas saat aku menangis demi mengais cintamu.
Akan kutunjukkan padamu bahwa aku tidak menyesal dengan keputusanmu. Aku tegar
dan bahagia.
###
Langkahku mantap menujumu, sosok
pria yang sangat kukenal berdiri menyandar dinding dengan kaki ditekuk sebelah,
kedua tangan dimasukkan saku jaket, dan pandangan menunduk. Gaya khas dirimu,
tapi tidak lagi mempesonaku.
“Ada
apa?”, tanyaku datar. Kepalamu mendongak, tapi bukan untuk menatapku.
“Ayo,
kita pergi ke luar negeri bersama. Aku bisa menundanya sampai kau siap”, suaramu
pelan dan kembali menunduk.
“Aku
tidak mau!”, jawabku singkat dan jelas.
“Kenapa?
Bukankah saat itu kau menangis dan memohon untuk tetap bersamaku? Aku bahkan mengambil
keputusan untuk membatalkan kuliah demi menunggumu”. Aku tidak tahu yang kau
katakan ini sungguhan atau tidak. Ada keinginan untuk menerima tawaranmu ini.
Tapi, sudah sekian kali kau putuskan aku lalu kembali dengan alasan baru.
Sekarang, bagaimana bisa aku mempercayaimu?
“Itu
bukan urusanku! Kau telah melepasku, bukan? Sekarang aku telah bertunangan
dengan pria lain. Tinggal menentukan tanggal pernikahan”, terangku laksana
petir yang menggelegar di telingamu. Aku tersenyum puas.
“Bagaimana
bisa kau menikahi pria yang baru kau kenal?”, kau berusaha menyanggah
kenyataannya. Menyungging senyum untuk mengejekku.
“Kau
salah. Aku telah mengenalnya 2 tahun yang lalu. Dia punya karakter, pekerjaan,
dan pendidikan yang cukup bagus. Kau yang waktu itu mengatakan kalau ada pria
yang lebih baik darimu, aku boleh menerimanya”, balasku atas luka yang kau
hujamkan malam itu. Sebenarnya, untuk hal inilah aku mau datang menemuimu. Aku
ingin melihat sendiri ekspresi rasa sakit di wajahmu.
Tanpa bicara lagi segera kubalikkan
badan, melangkah mantap meninggalkanmu yang masih membisu. Tiba-tiba, Bukkk!!!!
Aku sudah terjatuh dengan leher terlilit lenganmu. Sulit bagiku untuk bergerak
atau sekadar bernafas. Kau menyuruhku untuk diam atau aku akan habis saat itu
juga. Tidak ada pilihan lain kecuali menuruti maumu.
“Kau
sudah terlalu sering menghinaku, berkata kasar dan menuduhku. Kecemburuanmu
yang berlebih merusak ketenangan hidupku. Aku bahkan tak bisa memalingkan hati
meski perasaanku berulangkai terluka atas sikapmu. Tapi, dengan mudah kau
katakan bahwa dua tahun lalu kau mulai berkhianat? Aku bahkan membatalkan
studiku demi menunggu kau siap. Tapi dengan mantap kau justru menolak tawaranku?
Baiklah! Sebelum aku pergi, kau harus terluka”, kata-kata terakhir sebelum kegadisanku
kau rampas dengan teramat kasar.
Cinta
seharusnya menjadi pondasi kebahagiaan, bukan
alasan untuk menyakiti. Ketika cinta
tak dibatasi nalar dan iman, maka ia menjadi lebih liar dari singa kelaparan.
Kini cinta tak hanya mengoyak hati, tapi juga kesucian yang aku banggakan. Aku sadar bahwa tak mungkin bisa mangkir
dari cinta, tapi seharusnya aku ciptakan benteng pembatas hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar