Aku masih berjibaku dengan
kertas-kertas catatan hutang. Kali ini angkanya benar-benar membuat kepalaku
pusing. Bagaimana tidak? Totalnya enam puluh juta rupiah. Ini bukan jumlah yang
kecil bagi orang dengan penghasilan di bawah satu juta perbulan. Belum lagi
biaya pendidikan anak-anak yang tak mungkin ditunda.
Entah bagaimana ceritanya sampai suamiku punya setumpuk
hutang yang tidak kuketahui. Mungkinkah dia punya wanita lain di luar sana?
Kalaupun iya, akan kuserahkan saja laki-laki bodoh itu padanya sekalian sama
hutang-hutangnya ini. Aku sendiri sudah pusing setiap hari meladeni para
penagih hutang, sedang suamiku tampak tak peduli. Dia hanya menyuruhku
mengatakan pada penagih hutang kalau dirinya sedang tidak di rumah.
***
“Bukankah
selama ini, ibu yang mencarikan uang makan dan sekolah kami? Lalu, untuk apa
beliau berhutang?” Tanyaku pada ibu.
“Entahlah.
Aku juga tidak tahu!”, Bentaknya.
Terus terang, aku merasa iba pada ibuku.
Ini bukan kali pertama ayahku punya banyak hutang. Kalau ketahuan ibu, pasti beliau
akan marah-marah. Gelas, piring, mangkuk sayur, dan perabot rumah jadi terbang
semua, menyentuh tembok, lalu pecah berserakan di lantai. Kemudian, ibuku akan
membeli barang-barang baru lagi.
Kali ini juga demikian, ibuku marah
besar sampai mengancam akan bercerai. Jantungku berdegup kencang mendengar
teriakannya. Ayahku hanya diam saja, sesekali minta maaf dengan suara lirih.
Aku yang tengah memeluk adik lelakiku tidak tahu harus berbuat apa.
***
“Bagaimana
caraku membayar hutang-hutang itu?”, gumamku kebingungan.
Aku memeras otak untuk menemukan
solusinya. Pekerjaan apa yang bisa mendatangkan banyak uang dalam waktu
singkat? Ah, berbagai pekerjaan sudah pernah kulakoni dan tidak ada yang
semudah itu, kecuali melacurkan diri. Itupun tidak mungkin berhasil kalau
wanitanya tua dan lusuh sepertiku.
Bekerja di tempat orang tidak akan
cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami. Paling gajinya cuma satu juta,
itupun harus banting tulang dari pagi sampai sore. Lebih baik jualan, kalau
sewaktu-waktu kecapekan bisa istirahat sebentar dan kembali bekerja setelah
kantuknya hilang. Jika beruntung, hasilnya bisa berkali lipat dari gaji buruh.
Kuputuskan untuk menambah waktu
jualan. Kalau sebelumnya cuma sore hari, sekarang pagi hari juga. Aku akan
menyediakan menu nasi pecel dan gorengan untuk anak-anak yang akan berangkat
sekolah atau tetangga yang hendak pergi bekerja. Sisa makanan bisa kujual
keliling kampung sore harinya. Nah, siang hari kugunakan untuk mengiris kerupuk
dan menjemurnya. Lalu, menggoreng kerupuk. Malam hari baru mencuci dan
menyetrika. Semoga badanku kuat menjalani semua itu, demi bisa melunasi
hutang-hutang suamiku.
***
Ibuku kerja super keras. Beliau
bangun jam setengah empat pagi dan baru istirahat pukul sembilan malam. Nyaris
tidak ada waktu untuk tidur siang. Aku kasihan melihatnya. Biar tidak
kecapekan, kubantu mencucikan baju dan membersihkan rumah. Ibuku tampak senang
saat aku membantunya.
Tapi, ada hal yang tidak aku
mengerti. Kenapa ibuku yang harus menanggung hutang ayah? Apa salah ibuku?
Bukankah hutang itu cuma buat kepentingan ayah sendiri, bukan untuk kami?
Terus, kenapa kami yang selalu kena getahnya? Kenapa ibuku mau saja berkorban
untuk ayah?
Ada yang lebih menyakitkan lagi.
Melihat kami yang super sibuk ini, ayah justru kerap tidur siang. Bisa-bisanya
beliau tidur nyenyak ketika kami, para wanita yang harusnya mendapatkan nafkah
justru peras keringat dan banting tulang. Bukannya cari tambahan kerja, beliau malah
keluar dari tempat kerja sebelumnya. Alasannya? Aku tidak tahu, mungkin takut
pada temannya karena belum bayar hutang.
***
“Aku sudah
tidak tahan denganmu. Lebih baik, aku pergi dari rumah ini”, ungkapku dengan
nada keras.
Kujinjing tas besar berisikan pakaian,
kemudian melangkahkan kaki tanpa menoleh ke belakang lagi. Suamiku berusaha
mengejar, lalu meminta maaf. Aku sudah tak percaya lagi dengan kata maafnya.
Bagiku, kesalahannya sudah demikian fatal. Lebih mengerikan lagi ketika
anak-anak menjadi korbannya.
“Pikirkan
anak-anak, Bu”, bujuk suamiku ketika aku telah berada di bibir jalan.
“Kenapa kau
tidak pikirkan mereka? Akibat ulahmu, uang sekolah anak-anak nunggak sampai tiga bulan. Bagaimana
kalau mereka dikeluarkan?”
Suamiku terpaku mendengarnya, lalu
duduk di teras rumah. Ia menunduk, mengamatiku. Setiap kali ada bus dari
kejauhan, lenganku dipegang, lalu dia bujuk aku supaya tidak menyetop bus itu.
Lama-lama, aku luluh juga. Tentu bukan karena suamiku, tapi anak-anak yang
pasti telantar kalau kutinggalkan. Laki-laki seperti dia akan memberikan
makanan pada anak-anak dari uang orang lain. Cis, jangan sampai barang haramnya
masuk ke perut buah hatiku.
Kemudian, dia menggandengku masuk
rumah. Lalu mencuci piring dan mengiris bakal kerupuk, menatanya di jaring
bambu, lalu menjemurnya. Hari ini, aku memang tidak jualan. Jengah.
“Dengar,
pak! Kalau kamu masih malas-malasan, aku akan pergi bersama anak-anak”, gertakku.
Lagi-lagi suamiku hanya diam
menunduk, melakoni pekerjaannya tanpa mendongak sedikitpun.
***
Setelah ibuku mengancam akan pergi,
ayahku jadi lebih rajin. Beliau bangun subuh, kemudian membantu ibu mencuci
baju, membuat adonan kerupuk dan mengepel rumah. Hatiku sedikit riang karena
rumahku jadi lebih tenang. Mulai ada canda dan tawa lagi di rumah kami. Piring
dan gelas sudah tak pernah terbang, hanya sesekali ibuku masih berteriak galak.
Masalah datang lagi kala guru di
sekolahku menanyakan soal SPP. Katanya, aku tak bisa ikut ujian kelulusan SMA
bila tidak melunasinya dalam waktu seminggu. Ibuku kelimpungan saat mendengar
hal itu. Beliau kesana-kemari cari pinjaman. Sayangnya, tak ada lagi yang
percaya pada kami setelah melihat penagih hutang hilir mudik. Ibuku terpaksa menjual
kebun kami pada bibi. Uang yang didapatkan lumayan, bahkan cukup untuk
mendaftarkanku ke perguruan tinggi negeri.
***
Suamiku kumat lagi. Setelah kami
berhasil mencicil seperempat hutangnya, kerjaannya hanya kumpul sama tetangga
dan tiduran saja setiap hari. Bicaranya seperti orang berderajat, padahal
mengurusi perutnya sendiri saja tak becus. Yang membuatku lebih geram adalah
kebiasaannya mentraktir teman-temannya itu.
Selang beberapa hari, aku mendengar
kabar dari tetangga kalau suamiku kembali berhutang lima juta rupiah pada
temannya. Sungguh, hal ini membuat jantungku hampir copot.
“Kenapa kau
pinjam uang? Kau sudah janji tidak akan melakukannya lagi, kan?”
“Itu untuk
belanja bumbu kerupukmu dan beli bensin”, jawabnya ngawur.
Bagaimana tidak ngawur? Harga bumbu kerupuk tak mungkin sampai lima juta rupiah.
Apalagi, setiap seminggu sekali selalu ada uang yang masuk dari warung
pelanggan. Lalu, uangnya kemana? Buat mentraktir teman-temannya, beli pulsa,
atau makan enak di luar sana? Aku tak
mau ribut kali ini. Kubiarkan saja dia berbuat semaunya, aku tak peduli.
***
Ayahku kembali berhutang pada
temannya. Kalau temannya datang menagih hutang, beliau buru-buru kabur atau
tidur, tak pernah mau menemui. Risih mendengar makian dari temannya itu, ibuku
lantas membayarnya.
“Ibu dapat
uang darimana?” Tanyaku setelah ibuku melunasinya.
“Dari
tabungan ibu”, jawabnya pendek dengan tatapan kosong.
“Apa uang
itu dari hasi jualan kebun? Kan, uangnya mau dipakai menyekolahkanku.”
“Nanti, ibu
carikan uang untuk membayar kuliahmu. Tenanglah”, ucapnya lembut padaku.
Bagaimana aku bisa tenang? Tiga hari
lagi batas akhir pembayaran biaya masuk perguruan tinggi, tapi uangnya justru
buat bayar hutang ayah. Kalau ibuku tak dapat uang, apakah perjuanganku untuk
kuliah akan sia-sia? Padahal, aku mati-matian belajar biar bisa masuk
universitas negeri dengan jurusan mentereng. Tentu tidak mudah. Sekarang, semua
itu harus tergadaikan?
Aku tak bisa tidur semalaman
memikirkan masa depanku. Kalaupun aku sekolah lagi, apakah bisa sampai selesai?
Mengingat kegemaran ayahku berhutang dan ibuku yang terus saja melunasinya,
rasanya sulit untuk bisa menjadi sarjana. Aku sama sekali tak melihat titik
akhir dari masalah ini.
***
“Ibu”,
sapaku malam hari, “besok hari terakhir pembayaran biaya masuk perguruan
tinggi.”
“Bibimu
janji akan meminjamkan uang. Mungkin, besuk beliau ke sini.”
“Tidak
perlu. Aku akan pergi ke kota untuk bekerja. Ada lowongan di pabrik”, tolakku.
“Apa? Kerja
di pabrik? Bagaimana dengan masa depanmu? Ibu bisa mencarikan uang untukmu. Kau
harus kuliah biar tak bernasib seperti ibu”, ocehnya.
Kami berdua diam sejenak.
“Kenapa ibu
selalu melunasi hutang ayah?”, Tanyaku untuk kesekian kali.
Jawaban ibuku masih sama dengan yang
dulu, katanya untuk menjaga harga diri keluarga. Orang yang punya hutang selalu
direndahkan. Beliau tak mau suaminya direndahkan orang karena menurutnya sama
saja dengan merendahkan dirinya sendiri. Seorang istri harus menjaga kehormatan
suami bagaimanapun caranya.
“Harga
dirimu terlalu mahal untuk kami”, sergahku, “Andai kau tak mendewakan harga
diri, hidup kita tak akan sesulit ini.”
Ibuku diam. Beliau terpaku mendengar
kalimat terakhirku. Entah marah atau tersadar.
Aku, Lena, anak dari ibu pekerja
keras dan ayah penggemar hutang akhirnya benar-benar meninggalkan rumah
keesokan harinya. Membuka lembaran baru di kota lain. Tidak ada lagi teriakan
ibuku atau hinaan dari para penagih hutang. Hidupku jauh lebih tenang daripada
bersama orangtua yang menjejali telingaku dengan pertengkaran.
***
Pagi-pagi buta, ada yang mengetuk
pintu kamar kosku. Kubuka dengan mata yang masih terkantuk.
“Ibu, adik.”
Aku terperangah dengan kehadiran
mereka. Belum sempat bertanya apapun, ibuku sudah bicara duluan.
“Aku meninggalkan
harga diri yang menurutmu mahal itu, Lena”, terang ibuku.
Aku tersenyum mendengarnya, akhirnya
ibuku tersadar bahwa wanita tak harus menyakiti diri dan mengorbankan kebahagiaan
anak-anaknya demi harga diri lelaki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar