Rabu, 09 September 2015

Hutang-hutang





 Aku masih berjibaku dengan kertas-kertas catatan hutang. Kali ini angkanya benar-benar membuat kepalaku pusing. Bagaimana tidak? Totalnya enam puluh juta rupiah. Ini bukan jumlah yang kecil bagi orang dengan penghasilan di bawah satu juta perbulan. Belum lagi biaya pendidikan anak-anak yang tak mungkin ditunda. 

Entah bagaimana ceritanya sampai suamiku punya setumpuk hutang yang tidak kuketahui. Mungkinkah dia punya wanita lain di luar sana? Kalaupun iya, akan kuserahkan saja laki-laki bodoh itu padanya sekalian sama hutang-hutangnya ini. Aku sendiri sudah pusing setiap hari meladeni para penagih hutang, sedang suamiku tampak tak peduli. Dia hanya menyuruhku mengatakan pada penagih hutang kalau dirinya sedang tidak di rumah.
***

Ibuku terlihat sibuk menghitung total hutang ayah. Kali ini angkanya benar-benar besar, enam puluh juta rupiah. Ludahku tercekat saat mendengar angka itu dari bibir ibuku. Aku tak mengerti, mengapa ayah punya hutang sebanyak itu? 
 
“Bukankah selama ini, ibu yang mencarikan uang makan dan sekolah kami? Lalu, untuk apa beliau berhutang?” Tanyaku pada ibu.

“Entahlah. Aku juga tidak tahu!”, Bentaknya. 

 Terus terang, aku merasa iba pada ibuku. Ini bukan kali pertama ayahku punya banyak hutang. Kalau ketahuan ibu, pasti beliau akan marah-marah. Gelas, piring, mangkuk sayur, dan perabot rumah jadi terbang semua, menyentuh tembok, lalu pecah berserakan di lantai. Kemudian, ibuku akan membeli barang-barang baru lagi. 

Kali ini juga demikian, ibuku marah besar sampai mengancam akan bercerai. Jantungku berdegup kencang mendengar teriakannya. Ayahku hanya diam saja, sesekali minta maaf dengan suara lirih. Aku yang tengah memeluk adik lelakiku tidak tahu harus berbuat apa.
***

“Bagaimana caraku membayar hutang-hutang itu?”, gumamku kebingungan.
             
Aku memeras otak untuk menemukan solusinya. Pekerjaan apa yang bisa mendatangkan banyak uang dalam waktu singkat? Ah, berbagai pekerjaan sudah pernah kulakoni dan tidak ada yang semudah itu, kecuali melacurkan diri. Itupun tidak mungkin berhasil kalau wanitanya tua dan lusuh sepertiku.
           
 Bekerja di tempat orang tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami. Paling gajinya cuma satu juta, itupun harus banting tulang dari pagi sampai sore. Lebih baik jualan, kalau sewaktu-waktu kecapekan bisa istirahat sebentar dan kembali bekerja setelah kantuknya hilang. Jika beruntung, hasilnya bisa berkali lipat dari gaji buruh.
            
 Kuputuskan untuk menambah waktu jualan. Kalau sebelumnya cuma sore hari, sekarang pagi hari juga. Aku akan menyediakan menu nasi pecel dan gorengan untuk anak-anak yang akan berangkat sekolah atau tetangga yang hendak pergi bekerja. Sisa makanan bisa kujual keliling kampung sore harinya. Nah, siang hari kugunakan untuk mengiris kerupuk dan menjemurnya. Lalu, menggoreng kerupuk. Malam hari baru mencuci dan menyetrika. Semoga badanku kuat menjalani semua itu, demi bisa melunasi hutang-hutang suamiku.
***

Ibuku kerja super keras. Beliau bangun jam setengah empat pagi dan baru istirahat pukul sembilan malam. Nyaris tidak ada waktu untuk tidur siang. Aku kasihan melihatnya. Biar tidak kecapekan, kubantu mencucikan baju dan membersihkan rumah. Ibuku tampak senang saat aku membantunya.
             
Tapi, ada hal yang tidak aku mengerti. Kenapa ibuku yang harus menanggung hutang ayah? Apa salah ibuku? Bukankah hutang itu cuma buat kepentingan ayah sendiri, bukan untuk kami? Terus, kenapa kami yang selalu kena getahnya? Kenapa ibuku mau saja berkorban untuk ayah?
           
 Ada yang lebih menyakitkan lagi. Melihat kami yang super sibuk ini, ayah justru kerap tidur siang. Bisa-bisanya beliau tidur nyenyak ketika kami, para wanita yang harusnya mendapatkan nafkah justru peras keringat dan banting tulang. Bukannya cari tambahan kerja, beliau malah keluar dari tempat kerja sebelumnya. Alasannya? Aku tidak tahu, mungkin takut pada temannya karena belum bayar hutang.
***

“Aku sudah tidak tahan denganmu. Lebih baik, aku pergi dari rumah ini”, ungkapku dengan nada keras.
           
 Kujinjing tas besar berisikan pakaian, kemudian melangkahkan kaki tanpa menoleh ke belakang lagi. Suamiku berusaha mengejar, lalu meminta maaf. Aku sudah tak percaya lagi dengan kata maafnya. Bagiku, kesalahannya sudah demikian fatal. Lebih mengerikan lagi ketika anak-anak menjadi korbannya. 

“Pikirkan anak-anak, Bu”, bujuk suamiku ketika aku telah berada di bibir jalan.

“Kenapa kau tidak pikirkan mereka? Akibat ulahmu, uang sekolah anak-anak nunggak sampai tiga bulan. Bagaimana kalau mereka dikeluarkan?”

 Suamiku terpaku mendengarnya, lalu duduk di teras rumah. Ia menunduk, mengamatiku. Setiap kali ada bus dari kejauhan, lenganku dipegang, lalu dia bujuk aku supaya tidak menyetop bus itu. Lama-lama, aku luluh juga. Tentu bukan karena suamiku, tapi anak-anak yang pasti telantar kalau kutinggalkan. Laki-laki seperti dia akan memberikan makanan pada anak-anak dari uang orang lain. Cis, jangan sampai barang haramnya masuk ke perut buah hatiku.
            
 Kemudian, dia menggandengku masuk rumah. Lalu mencuci piring dan mengiris bakal kerupuk, menatanya di jaring bambu, lalu menjemurnya. Hari ini, aku memang tidak jualan. Jengah.
“Dengar, pak! Kalau kamu masih malas-malasan, aku akan pergi bersama anak-anak”, gertakku.
             
Lagi-lagi suamiku hanya diam menunduk, melakoni pekerjaannya tanpa mendongak sedikitpun. 

***
             
Setelah ibuku mengancam akan pergi, ayahku jadi lebih rajin. Beliau bangun subuh, kemudian membantu ibu mencuci baju, membuat adonan kerupuk dan mengepel rumah. Hatiku sedikit riang karena rumahku jadi lebih tenang. Mulai ada canda dan tawa lagi di rumah kami. Piring dan gelas sudah tak pernah terbang, hanya sesekali ibuku masih berteriak galak.
            
 Masalah datang lagi kala guru di sekolahku menanyakan soal SPP. Katanya, aku tak bisa ikut ujian kelulusan SMA bila tidak melunasinya dalam waktu seminggu. Ibuku kelimpungan saat mendengar hal itu. Beliau kesana-kemari cari pinjaman. Sayangnya, tak ada lagi yang percaya pada kami setelah melihat penagih hutang hilir mudik. Ibuku terpaksa menjual kebun kami pada bibi. Uang yang didapatkan lumayan, bahkan cukup untuk mendaftarkanku ke perguruan tinggi negeri.
***

             
Suamiku kumat lagi. Setelah kami berhasil mencicil seperempat hutangnya, kerjaannya hanya kumpul sama tetangga dan tiduran saja setiap hari. Bicaranya seperti orang berderajat, padahal mengurusi perutnya sendiri saja tak becus. Yang membuatku lebih geram adalah kebiasaannya mentraktir teman-temannya itu.
           
 Selang beberapa hari, aku mendengar kabar dari tetangga kalau suamiku kembali berhutang lima juta rupiah pada temannya. Sungguh, hal ini membuat jantungku hampir copot. 

“Kenapa kau pinjam uang? Kau sudah janji tidak akan melakukannya lagi, kan?”

“Itu untuk belanja bumbu kerupukmu dan beli bensin”, jawabnya ngawur.

Bagaimana tidak ngawur? Harga bumbu kerupuk tak mungkin sampai lima juta rupiah. Apalagi, setiap seminggu sekali selalu ada uang yang masuk dari warung pelanggan. Lalu, uangnya kemana? Buat mentraktir teman-temannya, beli pulsa, atau makan enak di luar sana?  Aku tak mau ribut kali ini. Kubiarkan saja dia berbuat semaunya, aku tak peduli.
***

 Ayahku kembali berhutang pada temannya. Kalau temannya datang menagih hutang, beliau buru-buru kabur atau tidur, tak pernah mau menemui. Risih mendengar makian dari temannya itu, ibuku lantas membayarnya.
“Ibu dapat uang darimana?” Tanyaku setelah ibuku melunasinya.

“Dari tabungan ibu”, jawabnya pendek dengan tatapan kosong.
“Apa uang itu dari hasi jualan kebun? Kan, uangnya mau dipakai menyekolahkanku.”
“Nanti, ibu carikan uang untuk membayar kuliahmu. Tenanglah”, ucapnya lembut padaku. 

 Bagaimana aku bisa tenang? Tiga hari lagi batas akhir pembayaran biaya masuk perguruan tinggi, tapi uangnya justru buat bayar hutang ayah. Kalau ibuku tak dapat uang, apakah perjuanganku untuk kuliah akan sia-sia? Padahal, aku mati-matian belajar biar bisa masuk universitas negeri dengan jurusan mentereng. Tentu tidak mudah. Sekarang, semua itu harus tergadaikan?
           
 Aku tak bisa tidur semalaman memikirkan masa depanku. Kalaupun aku sekolah lagi, apakah bisa sampai selesai? Mengingat kegemaran ayahku berhutang dan ibuku yang terus saja melunasinya, rasanya sulit untuk bisa menjadi sarjana. Aku sama sekali tak melihat titik akhir dari masalah ini.
***

“Ibu”, sapaku malam hari, “besok hari terakhir pembayaran biaya masuk perguruan tinggi.”
“Bibimu janji akan meminjamkan uang. Mungkin, besuk beliau ke sini.”
“Tidak perlu. Aku akan pergi ke kota untuk bekerja. Ada lowongan di pabrik”, tolakku.
“Apa? Kerja di pabrik? Bagaimana dengan masa depanmu? Ibu bisa mencarikan uang untukmu. Kau harus kuliah biar tak bernasib seperti ibu”, ocehnya.
            
 Kami berdua diam sejenak.

“Kenapa ibu selalu melunasi hutang ayah?”, Tanyaku untuk kesekian kali.
           
 Jawaban ibuku masih sama dengan yang dulu, katanya untuk menjaga harga diri keluarga. Orang yang punya hutang selalu direndahkan. Beliau tak mau suaminya direndahkan orang karena menurutnya sama saja dengan merendahkan dirinya sendiri. Seorang istri harus menjaga kehormatan suami bagaimanapun caranya. 

“Harga dirimu terlalu mahal untuk kami”, sergahku, “Andai kau tak mendewakan harga diri, hidup kita tak akan sesulit ini.”
           
 Ibuku diam. Beliau terpaku mendengar kalimat terakhirku. Entah marah atau tersadar.
           
 Aku, Lena, anak dari ibu pekerja keras dan ayah penggemar hutang akhirnya benar-benar meninggalkan rumah keesokan harinya. Membuka lembaran baru di kota lain. Tidak ada lagi teriakan ibuku atau hinaan dari para penagih hutang. Hidupku jauh lebih tenang daripada bersama orangtua yang menjejali telingaku dengan pertengkaran.
***
           
 Pagi-pagi buta, ada yang mengetuk pintu kamar kosku. Kubuka dengan mata yang masih terkantuk.
“Ibu, adik.”
           
 Aku terperangah dengan kehadiran mereka. Belum sempat bertanya apapun, ibuku sudah bicara duluan.

“Aku meninggalkan harga diri yang menurutmu mahal itu, Lena”, terang ibuku.
             
Aku tersenyum mendengarnya, akhirnya ibuku tersadar bahwa wanita tak harus menyakiti diri dan mengorbankan kebahagiaan anak-anaknya demi harga diri lelaki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar